Selasa, 30 April 2013

Menyelamatkan Mahakarya S. Sudjojono


Pertempuran Sultan Agung Melawan Jan Pieterzoon Coen, 1973
Cat minyak di atas kanvas, 3 x 10 meter
Sindudarsono Sudjojono, atau yang akrab disapa ‘Pak Djon’, adalah sosok penting dalam dunia seni lukis Indonesia baru. Sudjojono adalah satu dari tiga seniman lukis ternama di Indonesia pada abad ke 20 bersama-sama Affandi dan Basuki Abdullah. Atas usahanya dalam mencari, membentuk dan membangun seni rupa yang kental dengan karakter Indonesia, ia kemudian disebut sebagai Bapak Seni Rupa Modern Indonesia.

Sebagai bentuk penghormatan atas peran dan kontribusi Sardjojono yang sudah mencapai satu abad ini, instansi S.Sudjojono center bersama sejumlah pihak, menggelar rangkaian acara peringatan ‘Seabad S. Sudjojono’ yang bertujuan untuk memamerkan hasil karya seni, kehidupan dan legacy Sudjojono.

Diawali dengan diskusi tentang salah satu karya monumentalnya yang kini terpajang indah di Museum Sejarah Jakarta, Pertempuran Sultan Agung Melawan Jan Pieterzoon Coen. Oleh para kurator, lukisan yang bercerita tentang perlawanan Sultan Agung dari kerajaan Mataram melawan Gubenur Batavia (VOC) Jan Pieterszoon Coen, disebut sebagai salah satu mahakaryanya.

Menyusul empat lukisan lainnya yang telah lebih dulu diklaim sebagai karya-karya monumental sang maestro, seperti Di Depan Kelambu Terbuka, Tjap Go Meh, Seko, dan Pengungsi. Lukisan yang sama juga mengantarnya meraih penghargaan “the Fine Art Award” dari pemerintah Republik Indonesia pad atahun 1970.

Lahirnya Mahakarya: Pertempuran antara Sultan Agung dengan JP Coen

Tidak banyak yang mengetahui sejarah dibalik pembuatan lukisan Pertempuran Sultan Agung Melawan Jan Pieterzoon Coen yang selesai pada tahun 1973 dan kini terpampang indah di ruangan Sultan Agung, Museum Sejarah Jakarta.

Dari ratusan tamu undangan yang hadir, mayoritas adalah awak media, dalam diskusi mahakarya S Sudjojono itu, kurang dari 20 orang yang mengaku sudah melihat dan mengetahui latar belakang pembuatannya

Salah satu pembicara, Prof Dr.Ing Wardiman Djojonegoro, yang pernah menjabat sebagai Menteri P&K sekaligus anggota tim pemesan lukisan Sultan Agung menjelaskan, lukisan itu dibuat berdasarkan pesanan Gubernur DKI Jakarta yang menjabat saat itu, Ali Sadikin, sebagai bagian dari peresmian Museum Sejarah Jakarta tahun 1974.

Saat itu, Museum Sejarah Jakarta akan dipugar sebagai bagian dari upaya restorasi benda-benda peninggalan sejarah yang ada di kawasan kota tua Jakarta, atau Batavia saat itu. Untuk memperindah ruangan-ruangan di dalamnya, Ali Sadikin memutuskan untuk memajang sejumlah karya lukisan. Dipilihlah dua seniman lukis local, Sudjojono dan Haryadi. “Kedua seniman lukis itu sangat berkesan bagi saya, maka kami usulkan keduanya kepada Ali Sadikin dan diterima,”kata Wardiman.

Untuk Sudjojono, dipilihlah tema penyerangan Sultan Agung dari kerajaan Mataram ke pasukan JP Coen di Batavia. Tema itu dinilai memiliki arti sejarah yang cukup penting dalam berdirinya kota Jakarta. Lalu, Diputuskan lukisan ‘sejarah’ itu dibagi dalam tiga tema terpisah. Bagian pertama, lukisan sosok Sultan Agung Hanyokrokusumo, Raja Mataram ke 3, yang duduk dengan gagah diatas singgasana kerajaan lengkap dengan baju kerajaannya.

Kedua, cuplikan penyerangan pasukan JP Coen oleh pasukan Sultan Agung di Batavia pada tahun 1628. Ketiga, lukisan pertemuan antara Kyai Rangga (Bupati Tegal) dengan JP Coen saat diperintahkan untuk melakukan perundingan damai dan memata-matai benteng VOC sebagai bagian dari persiapan penyerangan ke Batavia pada tahun 1628.

Pemisahan lukisan menjadi tiga tema itu, menurut kurator dan ahli museum Amir Sadikin, merupakan wujud penggambaran interpretasi Sudjojono dalam ‘merekam’ berbagai sisi peristiwa serangan tersebut. “Ia ingin menunjukkan sisi kebijaksanaan dan spiritualisme Sultan Agung yang digambarkan sebagai sosok bijaksana. Dimana, Sultan Agung lebih mengedepankan upaya diplomasi ketimbang menyerang prajurit Belanda dengan membabi buta dan mengorbankan lebih banyak tentara,”kata Amir.

Luas keseluruhan lukisan mencapai 3x10 meter. Luar biasa besar dibandingkan lukisan-lukisan karya seniman Indonesia yang pernah ada. Sudjojono bahkan terpaksa membangun ruangan khusus di perkarangan tempat tinggalnya di kawasan Pasar Minggu, Jakarta, agar bisa memasukkan kanvas berukuran besar itu.

“Semula Sudjojono diminta untuk melukis langsung di museum, namun ditolak. Karena menurutnya bekerja di museum sangat membatasi geraknya. Ia terpaku dengan jadwal buka dan tutup museum. Padahal cara kerja Pak Djon tidak bisa diprediksi, bebas,”ungkap Rose Pandanwangi, istri Sardjojono sekaligus pendiri S. Sardjojono Center.

Detail lukisan ini cukup rumit. Seperti yang terlihat dalam lukisan penyerangan ke Batavia, Sudjojono mengambarkan gedung Balai Kota (Stadhuis) dan gereja kecil yang terbakar akibat serangan tentara Mataram. Ia juga menggambarkan karakter yang kuat dalam penampilan tentara-tentara Mataram yang berasal dari berbagai suku di Nusantara seperti suku Jawa, bali, Nusa tenggara Barat, Makasar dan Madura.

Untuk mendapatkan detail-detail itu, Sudjojono melakukan riset tunggal (research) selama kurang lebih satu tahun. Ia juga secara khusus berkunjung ke Belanda untuk melakukan riset selama tiga bulan ke sejumlah museum. Rose mengatakan, riset tersebut dilakukan selain untuk memastikan kebenaran fakta-fakta terkait peristiwa tersebut, Sudjojono juga menekankan focus utamanya untuk mendapatkan gambaran tepat tentang sosok dan wajah JP Coen.

“Ia sangat senang mendapatkan tugas untuk menggambarkan peristiwa itu, meski di sisi lain ia juga panik karena harus memikirkan dua hal dalam waktu bersamaan. Kebetulan saat itu, Pak Djon harus mengadakan pameran lukisan di Belanda,”kata Rose.

Rose mengaku cukup sulit untuk menemukan gambaran JP Coen. Tetapi, akhirnya gambar tersebut ia dapatkan di sebuah gedung perkantoran besar, di salah satu kota kecil di Utara Belanda. Gambaran sosok JP Coen terlukis di sebuah pilar yang sangat tinggi, hingga Sudjojono terpaksa memanjat gedung perkantoran itu agar setara dengan gambaran wajah JP Coen, yang digambarkan Rose sangat kecil. “Bapak memfoto dan membuat sketsa yang cukup banyak tentang wajah JP Coen saat itu,”kata Rose.

Sudjojono juga melakukan riset seputar gaya berpakaian, yang digunakan para prajurit Belanda mulai dari bentuk baju hingga sepatu. Ratusan skesta dihasilkan Sudjojono dalam riset tunggalnya itu. Sebagian besar sketsa-sketsa itu masih tersimpan rapi, tidak dipublikasikan ke publik.



(ki-ka: Kurator Seabad S. Sudjojono-Santy Saptari, Kurator dan ahli museum- Amir Sidharta, Mantan Menteri P&K Wardiman Djojonegoro, Istri S.Sudjojono- Rose Pandanwangi, Kepala Museum Sejarah-Enny Prihantini dan model lukisan Sultan Agung-Akum Suhanda)

Sudjojono juga menggunakan model khusus dari Belanda dalam menggambarkan karakter-karakter di lukisannya itu. Alasannya cukup sederhana, ia tidak ingin menggambarkan karakter-karakter dalam lukisan yang hanya sebagai figure generic. Ia memilih masing-masing karakter seperti sutradara memilih para pemainnya. Uniknya, ia memanfaatkan salah satu pegawai di Museum Sejarah, yakni Akum Suhanda, sebagai model pejuang dari Madura dalam lukisannya.

“Pak Djon bahkan selalu bersendagurau dengan para tamunya yang tertarik untuk melihat langsung pembuatan lukisan itu, dengan meminta mereka menjadi model dalam lukisannya. Padahal, tidak sedikit tamu yang berasal dari Belanda harus digambar dengan posisi kepalanya diinjak-injak,”kata Rose.

Penyelesaian lukisan itu sendiri tidak sepenuhnya diselesaikan di sanggar pribadi Sardjojono. “Saat lukisan itu baru selesai sekitar 70 persen, Pak Ali Sadikin meminta Pak Djon untuk segera mengirimkan lukisan itu ke museum sejarah. Karena, Ratu Inggris Elizabeth II berencana berkunjung ke Museum Sejarah yang dulu disebut Museum Fathahillah,”ujar Rose.

Kompleksitas dan rumitnya detail dalam lukisan inilah yang kemudian dinilai cukup layak menjadikannya sebagai maha karya Sudjojono. Tidak sekedar karena ukurannya yang luar biasa besar dibandingkan lukisan umumnya. Terutama tidak cukup banyak seniman lukis Indonesia yang tertarik untuk ‘menjerat’ sejarah di dalam karyanya hingga rela melakukan riset yang cukup mendalam.

“Lukisan sejarah milik Sardjojono bukan sekedar lukisan ilustratif. Ia melakukan riset yang cukup mendalam untuk mendapatkan detail yang tepat. Sekaligus berani untuk menginterpretasikan sudut pandangnya sendiri atas peristiwa itu. Inilah mengapa lukisan ini layak disebut mahakarya Sardjojono,”kata Amir.

Amir juga menilai bahwa lukisan ini bukanlah sekedar cuplikan sejarah. “Aspek-aspek yang sangat menarik di lukisan ini tidak hanya satu dan dua, tapi sangat banyak. Kita tidak melulu diajak hanya untuk membahas sisi Sardjojono dalam lukisan ini, tetapi ia juga mengantarkan kita untuk mengenal lebih dalam tentang peristiwa itu. Bagaimana perawakan para tentara Belanda saat itu, bagaimana pakaian tentara-tentara Sultan Agung, dan berbagai interplasinya dalam sejarah itu,”kata Amir.

Konservasi dan Restorasi

Setelah dipajang kurang lebih selama 39 tahun, lukisan Pertempuran Sultan Agung Melawan Jan Pieterzoon Coen mulai menunjukkan perubahan yang mengkhawatirkan. Kondisi itu sebenarnya cukup umum dihadapi oleh koleksi-koleksi seni terutama berbahan dasar organik. Sifatnya yang cukup peka terhadap kondisi lingkungan seperti fluktuasi suhu udara dan kelembaban, meningkatkan resiko munculnya retakan-retakan mikro yang menjadikan lukisan rapuh.

Kondisi mengkhawatirkan itu sudah terlihat sekitar tahun 2000. Kepala Museum Sejarah Jakarta, Enny Prihantini, menjabarkan hampir sebagian besar bagian lukisan mengalami degradasi, pemudaran warna dan pelapukan akibat pencahayaan langsung dan kelembabapan yang tinggi di museum. Ujung-ujung kanvas juga mulai diserang rayap hingga membuat salah satu sisi kanvas robek cukup parah.

Akhirnya diputuskan untuk melakukan tindakan cepat guna menyelamatkan lukisan mahakarya Sudjojono itu. Untuk melakukannya, tim konservasi Museum Sejarah Jakarta bekerja sama dengan ahli konservasi koleksi seni dari Tropen Museum Amsterdam dan Heritage Conservation Center (HCC) Singapura. Upaya konservasi pun dilakukan secara marathon selama dua bulan, yakni Juli-Agustus 2008 lalu.

Penanganan konservasi lukisan ini dilakukan secara ekstra hati-hati dengan tahapan-tahapan khusus yang disesuaikan dengan kondisi kerusakan lukisan. Diawali dengan pembersihan akumulasi debu secara mekanis menggunakan kuas halus. Sementara, untuk noda-noda lemak dibersihkan dengan bahan pelarut organik, dengan komposisi white spirit: alkohol: terpentin dengan rasio 2:1:2 pbv. Untuk kasus pemudaran tidak banyak dilakukan intervensi.

Pada 29 Agustus 2008, lukisan monumental itu selesai dikonservasi dan dilaunching kembali ke tengah-tengah masyarakat. Berita keberhasilan restorasi mendapatkan perhatian besar tidak saja dari media nasional tapi internasional. Salah satu alasannya, karena upaya konservasi untuk karya lukisan dengan luas hingga 10 meter itu baru pertama kali dilakukan. Bahkan, oleh para ahli konservasi seni lukis dari Singapura, HCC.

Meski langkah penyelamatan berhasil dilakukan, tidak berarti ancaman tersebut sudah tidak ada. Kondisi ruangan yang lembab, atap gedung yang bocor, kembali memberikan ancaman yang sama. Jika tidak ada upaya pencegahan dan perawatan yang tepat, dipastikan lima hingga 10 tahun kedepan kondisi lukisan Sudjojono kembali terancam.

Rose Pandanwangi juga menyambut gembira keberhasilan upaya konservasi dan restorasi lukisan tersebut. Ia pun berharap pihak Museum Sejarah terus berupaya untuk menyelamatkan lukisan itu. Karena baginya, lukisan ‘Pertempuran antara Sultang Agung dan JP Coen’ itu adalah lukisan sejarah terbaik yang ada di Indonesia. Puncak dari karier pak Djon, demikian katanya. “Safe the painting of Sultan Agung for the future, untuk generasi muda agar mereka dapat menikmati pekerjaan besar ini,”katanya.

Sosok Sudjojono dibalik Cangklong (Pipa Rokok)

Sudjojono lahir di Kisaran, Sumatera Utara, pada tahun 1913. Ia mulai berkiprah di dunia seni lukis pada tahun 1937 dengan Chiyo Yasaki sebagai tutornya. Karya-karyanya dikenal beraliran realism ekspresionis yang menekankan realita hidup dan kritik sosial. Sangat berbeda dengan karya-karya Affandi atau Hendra Gunawan. Sebagian besar hasil karyanya menyasar ke potret sosial, potret diri, keseharian keluarganya, kritik terhadap dunia seni, sejarah nasional, fantasi, ragam tradisi, pemandangan hingga kecenderungan religi.

“Dalam pengembangannya, Sudjojono memiliki dua tipe gaya melukis. Pertama bergaya realis seperti yang terlihat dalam sebagian besar karyanya yang menceritakan tentang revolusi. Kedua, gaya karikatural seperti yang ia lakukan dalam lukisan Cap Go Meh,”kata Amir.

Kompleksitas karyanya ini pula yang menjadikannya sebagai kritikus seni rupa pertama di Indonesia. Tidak sedikit karya-karyanya dibuat dengan tema parodi yang sangat mengena, lucu dan kocak. Saat ini, sebagian besar lukisannya bisa ditemukan di Balai Seni Rupa, Museum Istana Keperesidenan dan Galeri Nasional.


Pada tahun 1973, Sudjojono yang idealis mendirikan PERSAGI, Persatuan Ahli Gambar Indonesia. Tujuannya hanya satu yakni untuk menunjukkan dan membuktikan bahwa pelukis-pelukis Indonesia tidak kalah bermutunya dibandingkan pelukis dari manca negara. Pasalnya saat itu, banyak pelukis aktif di tanah air yang hanya menerima orderan dari orang-orang asing saja.

Sebagian besar anggotanya adalah teman-teman Sudjojono sendiri, termasuk beberapa seniman Belanda seperti Jan Frank, Henry van Velthuysen dan author De Loos-Haaxman of Bataviasche Kunstkring. Sementara yang memimpin kelompok ini adalah Agus Djaya. Melalui PERSAGI upaya Sudjojono untuk menunjukkan ‘keangkuhan’ para seniman Indonesia ternyata berhasil. Ia sendiri juga berhasil membuktikan saat sukses menyabet penghargaan atas karyanya ‘Kinderen met Kat” (anak-anak dan kucing) dalam ajang pameran lukisan di Batavia.

Sudjojono juga dikenal sebagai ‘Bapak Seni Lukis Indonesia Baru’ dan pemikir seni yang merintis pendefinisian ‘seni’ dan ‘seniman’ dalam konteks sejarah Indonesia. Ia pula orang Indonesia yang pertama kali menemukan istilah ‘sanggar’ dan ‘pelukis’. Pada tahun 1940-an, Sudjojono merumuskan salah satu dalil yang sangat terkenal di dunia seniman yakni dalili ‘jiwa ketok’ atau ‘jiwa tampak’. Dalil tersebut berkenaan dengan definisinya tentang seni. “Kalau seorang seniman membuat suatu barang kesenian, maka sebenarnya buah kesenian tadi tidak lain dari jiwanya sendiri yang kelihatan. Kesenian adalah Jiwa,”demikian ia menjabarkan.

Setidaknya ada dua buku yang menceritakan secara rinci tentang sosok dan karya Sudjojono, yakni Visible Soul karta Amir Sidharta dan Buku Sang Ahli Gambar karya Aminudin Siregar yang focus pada sketsa-sketsa karya Sudjojono.

Kisah perjalanan hidup Sudjojono ‘ditutup’ pada 25 Maret 1986. Ia meninggal akibat penyakit kanker paru-paru di usia 85 tahun. Hingga kini, karya-karyanya yang mencapai 400-500 karya masih dipamerkan di Amerika Serikat, Belanda, dan Singapura. Namun, keberadaanya tersebar dan masih cukup banyak yang belum terdokumentasikan dalam bentuk buku.

Diedit untuk diterbitkan di Sarasvati.co.id, 19 April 2013