Rabu, 03 Juli 2013

Seni Kontemporer Korea Di Ranah Klasik

Para seniman Jeju-Bali yang terlibat dalam pameran di Galeri Nasional
(maaf blur ya, kamera lagi tak beres)

Delapan belas seniman dari pulau Bali dan Jeju – masing-masing diwakili sembilan seniman – mengadakan pameran bersama di Galeri Nasional Indonesia (GNI) Jakarta, dari 29 Mei-9 Juni 2013. Melalui pameran yang mengangkat tema Determination of Two Islands ini, para penikmat seni diajak untuk mengenal wajah baru seni rupa dari kedua pulau yang lebih dikenal sebagai pusat kesenian tradisional di negaranya masing-masing.

Perkembangan seni rupa di dua pulau yang lebih dikenal sebagai tujuan wisata – Bali dan Jeju –tumbuh pesat dalam beberapa tahun terakhir. Karya-karyanya tidak lagi terpaku pada unsur religi, tradisi, dan klasik, namun jauh lebih inovatif dan modern. Melalui pameran ini, para seniman berupaya memberikan gambaran yang lebih luas tentang perkembangan seni rupa Bali dan Jeju saat ini, sembari menyisipkan narasi tentang sejarah kedua pulau. Namun pameran ini juga memicu pertanyaan, apakah perkembangan senirupa kontemporer di kedua pulau dapat bersinergi dengan senirupa klasik yang sudah lama mengakar? Akankah perkembangan ini akan mengubah identitas pulau sebagai pusat kebudayaan di masing-masing negara?

karya Mangu Putra, Dia Menatapku #4, 2013,
oil and pastel on linen, 160 x 210 cm (pic. suci)
Delapan tahun lalu, lima seniman kontemporer asal pulau Jeju – Korea Selatan dan lima seniman kontemporer Bali mengadakan pameran seni bersama di Galeri Seni Tonyraka, Ubud-Bali. Pameran tersebut mengawali kedekatan hubungan antar seniman dari dua pulau yang lebih dikenal sebagai tujuan wisata terbaik di Asia itu. Tiga bulan usai pameran perdana di Bali, giliran seniman kontemporer Bali berkunjung ke Pulau Jeju-Korea Selatan dan menggelar pameran bersama.

Pada 29 Mei 2013, seniman Bali-Jeju kembali mengadakan pameran bersama untuk yang ketiga kalinya. Pameran tersebut diadakan di Galeri Nasional Indonesia (GNI) – Jakarta dengan mengangkat tajuk Determinationof Two Island: Jeju-Bali. Pameran yang diadakan atas kerjasama Tonyraka Art Gallery dan Vaneasa Artlink Jakarta ini, berlangsung hingga 9 Juni 2013. Jumlah seniman yang terlibat lebih banyak dibandingkan dua pameran sebelumnya, mencapai 18 orang masing-masing sembilan seniman Bali dan sembilan seniman Jeju.

Mewakili Bali: seniman Mangun Putra, Srihadi Soedarsono, Chusin Setiadikara, Nyoman Erawan, Made Wianta, Nyoman Nuarta, Wayan Sujana Suklu, Teja Astawa, dan Tjandra Kirana. Sementara, seniman Jeju diwakili oleh Joe Jae Hwan, Jung Yong Sung, Kang Yo Bae, Koh Gill Chun, Lee Jong Gu, Lee Myoung Bok, Shin Hak Chull, Son Jang Sup, dan Yang Mi Kyeong.

Pendiri TonyrakaArt Gallery sekaligus sponsor ketiga pameran Bali-Jeju – Tony Hartawan mengatakan, pameran ini tidak saja bertujuan untuk mempromosikan karya-karya seni kontemporer dari masing-masing pulau tetapi sekaligus menjadi media untuk mempererat hubungan antar seniman kedua pulau yang diklaim memiliki banyak kesamaan. Menurut Tony, kedua pulau tidak saja memiliki status yang sama sebagai pulau wisata, geografisnya sebagai pulau kecil yang jauh dari pembangunan daratan utama (Jawa dan Seoul), tetapi juga memiliki latar perkembangan kebudayaan dan kesenian yang sama.

“Akar kebudayaan tradisional di Bali maupun Jeju, sama-sama kuat. Seluruh aktivitas penduduknya masih dipengaruhi oleh nilai-nilai spiritual dan tradisi kebudayaan yang masih menjunjung tinggi harmoni antara manusia dan alam,”kata Tony seperti yang tertulis di dalam pengantar katalog.

Karya-karya yang ditampilkan dalam pameran tersebut cukup jauh dari kesan klasik yang sudah menjadi ciri khas masing-masing pulau jauh sebelumnya. Tidak lagi ada karya seni bertutur khas Bali. Kegiatan keagamaan, tradisi dan objek alam tidak lagi menjadi tema, sebaliknya didominasi oleh sejarah lampau kedua pulau.  “Karya yang ditampilkan murni lahir dari imaginasi kreatif sang seniman. Dipengaruhi berbagai faktor yang memasuki ruang budaya mereka dan secara kontinyu mencampur adukkan berbagai unsur di dalamnya,”kata Tony.

Seperti karya Mangun Putra berjudul Dia Menatapku #4, yang mengangkat isu marginal dan runtuhnya tatanan kepedulian dan kepekaan sosial di tengah masyarakat. Bagaikan foto, Mangun melukiskan sosok pria berperawakan kurus dengan tubuh yang penuh luka menoleh ke pengunjung yang memperhatikannya. Namun yang menarik perhatian pengunjung adalah tatapan matanya yang menyiratkan keputusasaan. “Ia mempertanyakan kepedulian sosial saat ini. Jelas terlihat dari ekspresi, bahasa tubuh, dan catatan-catatan yang bisa dibaca”. 

karya Lee jong Gu, Water-Happiness, 2002.
acrilyc on rice paper sack, 160 x 158 cm
Sementara sang kurator, Jim Supangkat mengatakan  sosok pria di dalam lukisan itu merupakan salah satu anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) yang menjadi korban pembantaian besar-besaran di Bali sekitar tahun 1965-1966. “Itu adalah tatapan terakhirnya sebelum memasuki lapangan eksekusi,”kata Jim kepada Sarasvati.

Adapula karya Nyoman Herawan berjudul Seri Ritual Kontemporer, yang menampilkan sosok pria – yang lebih mirip dirinya sendiri – sedang duduk dengan pose bagaikan sang Budha yang tengah bertapa diatas hamburger. Pada latar ia menambahkan berbagai logo makanan fast food ternama yang membanjiri Indonesia. Lagi-lagi, Nyoman menyajikan karyanya yang menggali kebudayaan Bali melalui ikon-ikon ritual Bali yang berdialog dengan realitas modern.

Di sudut lain ruangan, seniman asal Korea Selatan – Joo Jae Whan – menampilkan karya fotografi yang menggambarkan kondisi sebuah kota paska-perang. Melalui karya berjudul Dizziness ini, Joo Jae menunjukkan bahwa identitas Korea Selatan saat ini tidak bisa terlepas dari kisah perperangan yang melibatkan Korea Utara dan Amerika pada 1950-1953. Secara apik ia menggambarkan aksi protes seorang biksu yang tengah menjalani ritual bakar diri disaksikan oleh sosok yang mirip Budha dihadapannya tanpa berbuat apa-apa. Sosok ini kemudian berganti menjadi deretan tentara dalam serial lukisan yang berbeda.

Tidak ada proses kurasi yang cukup ‘serius’ dalam pameran ini. Seperti yang disampaikan Jim, pameran ini tidak memiliki sebuah tema khusus untuk diangkat. Tidak ada benang merah yang menyatukan cerita masing-masing karya yang ditampilkan. Jim sepenuhnya mempercayakan para seniman untuk menampilkan karya yang bisa mewakili dirinya dan negaranya sendiri. “Seniman Korea sangat jujur pada dirinya sendiri. Mereka tidak sibuk mencocokan diri dengan contemporary art. Sehingga karya-karya yang ditampilkan tidak terlalu spektakuler,”kata Jim kepada Sarasvati.

Jim juga mengaku terkejut dengan karya seni kontemporer yang ditampilkan para seniman Jeju. Menurutnya ide kreatif yang dipilih sangat original dan tidak menghilangkan semangat kedaerahannya. Berbeda dengan karya Kontemporer yang berkembang di Amerika ataupun Eropa, dimana kontemporernya lebih menonjolkan lifestyle. Begitu juga dengan karya seniman Bali yang lebih memilih tema dekat dengan kehidupan masyarakatnya. Tema yang diambil, menurut Jim, lebih konservatif dibandingkan karya-karya kontemporari yang lifestyle dan urban. 

“Seakan-akan ada wilayah periferi untuk karya kontemporer di luar Amerika dan Eropa. Dalam perkembangannya wilayah ini kerap tidak diperhatikan. Tapi kontemporari Jeju tidak memaksakan diri untuk mengikuti gaya pendahulunya dan lebih menampilkan kekhasannya sendiri,”kata Jim.

Karya Kang Yo Bae dengan judul the Sky of the North West (2009) dan the Waterfalls (2007), menurut Jim dengan jelas menunjukkan keterikatannya pada landscape. “Landscape Kang Yo Bae lebih ke landscape Jen, bukan seperti yang berkembang di Eropa,”kata Jim. Karya lukisan menarik lainnya ditunjukkan Jung Yong Sung dalam tiga seri lukisannya berjudul ‘The Face’.  Hanya dengan menggunakan charcoal dan debu, Jung Yong melukiskan wajah-wajah dengan penggambaran yang sangat kabur. “Namun kita tetap bisa melihat spiritnya,”kata Jim.

Adapula ide yang menurut Jim “cukup aneh untuk sebuah seni contemporary”, seperti karya Lee jong Gu berjudul Water – Happiness (2002) dan Water – Life (2002). Selintas tidak ada yang spektakuler dari lukisan mangkuk berisikan air bening itu. “Kanvasnya adalah kantung beras (rice paper sack) yang sudah diperlakukan khusus,”kata Jim. Ide menggunakan mangkuk minum sebagai objek lukisan, menurutnya juga menandakan bahwa seniman-seniman Jeju tidak pernah bisa melepaskan identitasnya sebagai seorang rakyat biasa, petani, dan nelayan.

Sama halnya seperti yang ditunjukkan Koh Gil Chun dalam karya lukisannya Sleeping Chetzemoka (2009), yang menampilkan perahu nelayan sebagai objek. “Karya itu adalah wujud simpatinya pada nelayan,”kata Jim. Namun keunikan dari karyanya adalah metode lukis yang digunakan. Koh Gil menggukan metode lama ‘menjiplak’ yakni dengan menempelkan kertas kanvas khusus yang telah diberi warna hitam. Kertas yang sudah ditempelkan di seluruh bagian tubuh kapal, kemudian diarsir menggunakan pots lot khusus sehingga memunculkan bayangan perahu dengan warna logam yang kentara. “Metodenya khusus, sayang saya tidak begitu paham saat dia ceritakan,”kata Jim.

Dalam beberapa decade terakhir, seni kontemporer Korea Selatan berkembang sangat pesat hingga mampu mengambil alih ‘tahta’ kesenian Asia yang sebelumnya dipegang oleh China dan Jepang. Ketertarikan pada karya seni Korea bukan saja karena harganya yang jauh lebih murah dibandingkan karya seni China – hingga berada di luar jangkauan para kolektor – dan kualitas karya yang tidak tertinggal jauh. Tetapi juga karena tema-tema yang dipilih sangat beragam. Berbeda dengan lukisan-lukisan China yang setia pada tema-tema tertentu dan media cenderung mendominasi.

karya Nyoman Nuarta, Leopard 3, patina copper and brass,
150 x 60 x 90 cm
Selain itu, pemerintah Korea Selatan juga menyadari bahwa perkembangan kebudayaan dan kesenian harus didukung oleh infrastruktur seni yang kokoh, termasuk upaya ‘promosi’ secara berkelanjutan. Sehingga saat ini dapat dengan mudah ditemukan instansi pendidikan seni, galeri dan rumah lelang di Korea. Keberadaan mereka juga menyuburkan munculnya seniman-seniman muda di tanah Korea. Jelas Korea Selatan banyak belajar dari tetangga mereka, China. Korea semakin gencar memperkenalkan kebudayaan mereka dengan membangun, misalnya, pusat kebudayaan Korea di berbagai Negara. Bahkan, pemerintah Korea Selatan baru-baru ini telah meresmikan Pusat Kebudayaan Korea di Jakarta.

Upaya ini juga didukung oleh berbagai stake holder lainnya. Sejumlah galeri swasta ikut mendirikan cabang di kota-kota besar seperti New York untuk mengambil keuntungan dari minat para kolektor Barat. Bahkan pelaku bisnis di bidang lainnya juga ikut membangun sejumlah museum seni pribadi. Misalnya, perusahaan Samsung yang memiliki koleksi seni pribadi. “Koleksi kontemporernya bahkan lebih lengkap dibandingkan museum-museum yang ada di Eropa dan Amerika,”ujar Jim. Perhatian dan keterlibatan dari pemerintahan ini tidak dijumpai di Indonesia. Alhasil, perkembangan infrastruktur seni di Indonesia kacau balau.

Peran Jeju dalam perkembangan sejarah seni di Korea Selatan, diawali sekitar tahun 1980an. Saat itu, pemerintah memutuskan untuk lebih mengembangkan Jeju selain sekedar tujuan wisata juga sebagai pusat pengembangan kebudayaan dan kesenian Korea. Jeju bahkan sempat menjadi lokasi untuk pengadaan pameran seni tingkat internasional, Biennale, yang pertama diadakan di Koea Selatan. Namun, rencana itu dibatalkan dan dipindahkan ke kota Gwangju. Seluruh anggaran pembangunan infrastruktur seni dipindahkan ke Gwangju. Berbagai fasilitas pendukung kegiatan kebudayaan dan kesenian dibangun. “Gwangju dibangun cukup besar, bahkan saat ini Gwangju Biennale dikenal termahal di dunia,”kata Jim.

Meski demikian, infrastruktur seni di Jeju tetap dikembangkan. Sekarang, di pulau kecil itu sudah berdiri museum seni terbesar di Korea Selatan. Akan tetapi, kehadiran para wisatawan domestik dan mancanegara ternyata ikut mempengaruhi gaya kehidupan masyarakat Jeju termasuk dalam berkesenian. Seni yang semula murni sebagai salah satu media untuk menunjukkan identitas daerah, mulai bergeser mengikuti kehendak pasar.

Hal yang sama juga terjadi di Bali. Tony dari Tonyraka Art Gallery mengatakan, saat sebuah komunitas kehilangan identitasnya maka bisa terjadi dua hal. Pertama, komunitas itu akan lenyap karena krisis identitas. Atau, kedua, akan terbentuk komunitas baru dengan identitas baru. “Jeju dan Bali, adalah salah satu komunitas yang berhasil bersinergi dengan budaya-budaya baru yang masuk,”katanya. 

Yuk, Liburan Bersama Erica Hestu Wahyuni

Erica Hestu Wahyuni tengah 'beraksi'
Senangnya, musim libur sekolah telah tiba.Tak ada lagi tugas sekolah yang membuat kepala pusing tujuh keliling. Tas sekolah berganti daypack dan koper. Wajah lelah dan suntuk berganti ceria penuh semangat bersiap hadapi petualangan baru. Ya, sekali lagi Erica Hestu Wahyuni berhasil menangkap luapan rasa gembira untuk dituangkan secara apik kedalam lukisan-lukisannya yang dipamerkan di Fang Gallery – Jakarta, sejak 3 Juni hingga 28 Juni 2013, bertajuk Summer Vacation.

Seperti dalam lukisan terbarunya berjudul Vacation in Prosperity, Erica seakan-akan mengajak kita untuk mengingat kembali keindahan dan ‘kemakmuran’ yang ditawarkan alam bukan sekedar menikmatinya. Aliran sungai yang dipenuhi berbagai jenis ikan, pohon-pohon yang berbuah ranum di musim panen yang hangat, hingga lautan yang kaya akan sumber daya alamnya. 

Lucunya, Erica tidak lupa menyisipkan simbol moderinitas didalam lukisan alamnya. Terlihat simbol Louis Vuitton (LV) disalah satu koper dalam lukisannya. “Lukisan ini sudah laku terjual dengan harga Rp78 juta,”kata Sin Yan, dari Fang Gallery Jakarta, Senin (3/6).

Tema liburan juga kental terasa dalam lukisan lainnya, seperti Blessing Time With Lovely Elephant. Ikon-ikon berbagai kota tujuan wisata tampak memenuhi kanvas berukuran 150 x 200 cm. Antara lain candi Borobudur di Magelang-Indonesia, menara Eifel di Paris-Perancis, piramida di Mesir, patung Liberty di New York dan berbagai ikon lainnya. 

Namun yang menarik adalah kehadiran si gajah besar berwarna merah muda di tengah-tengah lukisan. Erica seakan-akan berkata bahwa ia selalu merindukan si gajah meski sering berpetualang ke berbagai pelosok dunia. Gajah yang sama juga muncul di berbagai lukisan Erica. Ternyata si gajah ‘bona’ itu bukan sekedar karakter kesukaan Erica, ada kisah dibalik kehadirannya.

“Gajah itu adalah Ganica, gajah betina yang telah lama menjadi anak asuhnya. Ganica adalah beberapa bagian dalam hidup Erica yang sering menginspirasi proses pengkaryaannya,”kata Felicia Guo, pemilik Fang Gallery sekaligus kurator dalam pameran yang menampilkan lima karya lukis Erica.

Parade of Happy Harvesting, 2013, acrylic on canvas, 150 x 200 cm
Selain hobi melukis dan traveling, Erica tidak bisa menutupi kecintaannya pada dunia binatang. Hal itu, terlihat jelas dari hadirnya berbagai objek binatang di setiap lukisannya. Hasratnya pun terlihat nyata saat ia menerima tawaran Taman Safari Indonesia (TSI) untuk menjadi ibu asuh seekor gajah betina berumur 6 bulan, yang kemudian ia namai Ganica kependekan dari Gajah Seni Erica.

“Seminggu Erica berada di TSI untuk mengenal lebih dekat Ganica. Ia selalu bangun tiap pukul 7 pagi dan pergi menemui Ganica walaupun belum sempat mencuci mukanya. Berbagai aktivitas ia lakukan bersama Ganica, mulai dari menemaninya mandi di sungai sampai menemai bermain bersama gajah lain,”kisah Felicia.

Karya-karya lukis Erica tidak saja diakui di tanah air tapi mancanegara. Gaya lukisnya yang kekanak-kanakan, berwarna cerah, tak mengenal dimensi ruang, anatomi, volume dan perspektif sukses mencuri hati para kolektor. Erica kerap menjadikan berbagai fenomena, mimpi, imajinasi dan peristiwa yang ia temui kehidupan sehari-hari sebagai sumber inspirasi karyanya. Alhasil, begitu banyak ide berlalu-lalang di benaknya untuk segera dituangkan ke atas kanvas. “Erica termasuk seniman yang ‘rajin’ berkarya, ia seperti tidak pernah kehabisan ide,”ujar Sin Yan.

Bagi pelukis kelahiran Yogyakarta tahun 1971 ini, tidak sulit menuangkan berbagai pikiran dewasanya ke dalam lukisan bergaya sketsa anak-anak. Ia percaya bahwa setiap individu memiliki jiwa kanak-kanak yang tersembunyi dibalik tubuh dewasanya. Dan, semangat bermain atau mengolok-olok saat menciptakan karya menurutnya memiliki peranan penting. 

Namun, lukisan-lukisan Erica dapat dengan mudah dibedakan dari karya seniman-seniman bergaya serupa. Sebut saja, Eddie Hara dan Heri Dono yang namanya sudah mencuat sejak 1980-an. Jika lukisan kedua seniornya itu terasa canggih, bermuatan, dan tak jarang mengandung intelektualisme. Maka karya Erica lebih terasa ringan dan tanpa beban.

Jika dibandingkan dengan karya Paul Klee dan Faizal yang cenderung naïf namun tidak childish (kekanak-kanakan), jelas karya Erica memiliki rasa kekanak-kanakan yang menonjol. Begitu pula dengan karya pelukis kanak-kanak paling populer di dunia, Alexandra Nechita, yang justru mendewasa dalam aspek tematiknya.

Bakat seni Erica sudah terlihat sejak ia duduk di Taman Kanak-kanak. Tembok rumahnya adalah kanvasnya yang pertama. Catnya tak pernah putih mulus, selalu penuh coretan tangan Erica kecil. Erica terjun ke dunia seni rupa secara formal saat bergabung dalam Sanggar Katamsi di tahun 1981 - 1982. Di sanggar ini Erica banyak menimba ilmu dari Suharto PR dan Harry Wibowo.

Penulis dengan salah satu lukisan Erica
Vacation in Prosperity, 2003, acrylic on canvas, 150 x 200 cm
Usai lulus dari SMA Marsudi Luhur Yogyakarta (1989), Erica memutuskan untuk melanjutkan pendidikan seninya dengan masuk ke Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Selama menempuh pendidikan seni ia sempat meraih penghargaan untuk kategori sketsa terbaik dan lukisan cat air. Setelah itu Erica memutuskan untuk menuntut ilmu ke Institut Seni Surikov di Rusia dan meneruskan pengembaraannya hingga ke Cina. Sepertinya, tiga tahun menuntut ilmu di Rusia telah memberikan kenangan yang mendalam di benak Erica. Hal itu terlihat dari kemunculan objek wanita tradisional Rusia di berbagai lukisannya.

Sementara itu dimata sang kurator, Erica merupakan salah satu seniman wanita Indonesia yang terbukti mampu menjaga konsistensinya dalam berkarya. “Erika berhasil mengungkap pandangan dan imajinasinya dengan cara yang indah, kualitas narasinya pun menarik,”kata Felicia.


Meski karya yang ditampilkan sangat menarik bahkan ada yang terjual di hari pertama, sayangnya tidak didukung oleh kesiapan galeri yang matang. Salah satunya adalah ketersediaan informasi karya yang sangat minim. Ketidaksediaan katalog di hari pertama pameran tentu menyulitkan pengunjung untuk menyelami makna di balik karya-karya Erica. Hal yang sama juga ditemui saat pengunjung meretas informasi di situs Fang Gallery.

Baca juga artikel tentang Erica di Sarasvati.co.id

Jumat, 24 Mei 2013

Guggenheim dan Resin


Arin Dwihartanto

"Bagaimana aku dipaksa untuk berkompromi dengan kondisi 'tak terkendali' dan menghadapinya dengan mengambil berbagai keputusan, yang semua tergantung pada situasi di tangan." - Arin Dwihartanto

KECINTAAN seorang Arin Dwihartanto Sunaryo untuk terus mengeksplorasi dan bereksperimen dengan berbagai material dan media lukis, tidak saja memuaskan hasratnya dalam mendorong batas-batas dunia seni lukis.

Setelah cukup puas berkecimpung di dunia komik, karikatur, mangga, dan lukisan minyak, ia akhirnya menemukan ‘pelabuhan hati’ di sebuah senyawa kimia bernama resin. Dan kesuksesannya bereksperimen dengan resin, menggiringnya menjadi salah satu seniman lukis asal Indonesia yang pertama kali berhasil menunjukkan karyanya di Museum Gugenheim, New York. Suatu pencapaian yang sangat membanggakan.

Mulanya, saat melanjutkan pendidikan di Central Saint Martin’s College of Art & Design, London, gaya melukis Arin tak berbeda jauh dengan pelukis modern art lainnya. Ia terus mengeksplorasi lukisan dengan cat minyak meski dengan cara yang berbeda. Alih-alih ia menggunakan kuas untuk menggoreskan cat minyak di kanvas. Arin lebih memilih untuk mengucurkan langsung cat minyak di permukaan kanvas.

Untuk menghasilkan suatu gambaran, ia harus mengucurkan cat itu berulang-ulang di atas kanvas. Tak jarang ia menggoyang-goyangkan kanvas ke berbagai arah, hingga akhirnya tumpahan cat itu mengalir dan membentuk komposisi yang ia inginkan dengan tekstur yang tak biasa. Hasilnya, sejumlah lukisan seri bunga tampil dengan begitu indah dengan sapuan yang berbeda.

Namun, Arin merasakan ketidakpuasan saat melukis dengan cat minyak. Bukan saja karena lukisannya cenderung membutuhkan waktu lebih panjang untuk kering, tetapi kehausannya untuk terus mengeksplorasi material dan cat sebagai medium tak bisa memuaskan dahaganya.

“Saya berfikir apakah melukis itu harus menggunakan media kanvas? Harus dengan cat minyak? Atau apakah medium bisa menjadi lukisan itu sendiri?”kata Arin saat berbincang ringan di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, Senin (15/4).

Arin pun kemudian memutuskan membuang semua kuasnya. Menggantinya dengan ember, kendi, kaleng ataupun teko untuk membuat kucuran dan cipratan warna. Arin pun dipicu untuk terus mengeksplorasi medium lain selain cat.

Hingga pada 2008, secara tak sengaja (accidental) ia memulai ekperimen dengan resin, bahan industri berbahan dasar substansi cair sintetik yang dapat mengeras menjadi benda solid dan transparan hanya dalam waktu satu hari saja. Arin mengaku tidak pernah berpikir untuk menggunakan resin sebagai media utamanya.

“Awalnya saya hanya menggunakan resin untuk melapisi permukaan kanvas untuk mendapatkan hasil yang halus, dan menghasilkan efek tertentu saat saya melukis menggunakan cat minyak diatasnya. Namun, karena pekerjaan saya tidak pernah rapi, resin akhirnya menetes di tepi kanvas dan mengering. Saya menjadi lebih tertarik mengamati bentuk resin di tepi kanvas, ketimbang memeriksa apakah permukaan resin di atas kanvas sudah sempurna atau tidak,”kata Arin.

Arin mengatakan, resin bukan hal baru di tengah masyarakat. Dulu resin digunakan untuk berbagai keperluan seperti membuat mainan anak-anak, piring, dempul mobil, hingga ke gigi palsu. Resin bahkan digunakan dalam pengawetan mumi. Jadi, menurut Arin mengapa tidak dengan lukisan?.

Selama beberapa bulan, ia terus mengeksplorasi metode melukis baru dengan menggunakan resin. Sepanjang itu, ia menemukan sifat-sifat resin yang jauh berbeda penanganannya dengan cat minyak. Kurator Agung Hujatnikajennong bahkan mengatakan bahwa ‘sifat-sifat resin telah menuntun Arin pada pencapaian artistik yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya’.

“Saya tertarik dengan resin juga berhubungan dengan kepentingan image yang ingin saya buat. Resin memberikan gambaran yang berbeda dengan karya-karya lainnya. Ia memberikan karakter visual yang tidak terduga,”katanya.

Kecintaan Arin kepada resin bertambah saat secara tidak sengaja ia menemukan evek visual yang sangat menarik ketika mengucurkan resin dengan berbagai warna ke atas permukaan benda yang datar. Saat resin itu mengering dan dikelupas, ia menemukan karakter visual yang cukup tak terduga di sisi dasar genangan yang mengeras.

“Karena dikucurkan di media datar, hasil genangan resin berubah menjadi bidang yang sangat rata, mulus dengan warna-warna yang cukup mengejutkan karena terbentuk dari gradasi warna. Saya tidak mencari tekstur yang terbentuk dari resin yang mengeras, tapi sisi datarnya,”kata Arin.  

Arin pun mengaku metode lukis ini membuatnya kerap diliputi emosional. Karena ia tidak bisa menduga wujud akhir dari proses melukisnya hingga genangan resin mengering dan dikelupas. Agung menyebut teknik melukis Arin dengan ‘prosedur terbalik’, karena ia menjadikan kucuran ataupun cipratan pertama sebagai lapisan paling muka dan yang akan ditampilkan kehadapan pengunjung. Berbeda dengan melukis menggunakan cat minyak, dimana goresan paling atas adalah sisi terdepan yang akan dilihat pengunjung.

“Terkadang hasilnya tidak memuaskan, tidak sesuai dengan yang saya harapkan. Cukup sering. Namun sebaliknya, terkadang hasil akhir lukisan sangat tidak terduga,”katanya.



Simbiosis Baru

Dalam sejarah, resin dinilai sebagai substansi kimiawi yang sangat beharga dan hanya diperuntukkan dalam ritual-ritual keagamaan oleh keluarga para raja. Sebut saja di masa kejayaan Romawi, Yunani dan Mesir kuno, resin digunakan sebagai substansi pengawet seperti dalam proses mumifikasi.

Arin menjelaskan, secara alami resin dihasilkan oleh tetumbuhan konifer (pohon berdaun jarum seperti pohon cemara) dengan sifat kimiawi mampu merekatkan, melindungi dan mempertahankan benda-benda dari degradasi. “Kita lebih mengenal resin sebagai getah. Wujudnya yang kental, transparan dan lengket menjadikannya material dan medium yang sempurna untuk menggantikan kanvas dan cat minyak. Terutama saat dicampurkan dengan berbagai pigmen,”kata Arin.

Dalam prakteknya, Arin memilih untuk menggunakan resin sintetik ketimbang resin alami. Alasannya, selain karena harganya yang sangat, sangat mahal, Arin juga ingin merefleksikan semangat industry modern di dalam karyanya. Seperti yang terlihat dalam sejumlah karya resin-nya, hasil akhir muncul dengan kualitas yang tak jauh berbeda dengan produk berbahan resin yang dicetak menggunakan mesin. Permukaan lukisan yang rata, halus, licin sekaligus mengkilap hingga mampu memantulkan cahaya dan citra bayangan benda-benda yang ada di depannya.

“Resin merupakan bahan yang tidak terduga. Kemana ia mengalir kita tidak bisa menghentikannya,”kata Arin.

Beberapa tahun kemudian, Arin mulai mengeksplorasi metode baru dalam memanfaatkan resin. Ia kemudian menggabungkan teknik digital printing dalam sejumlah karya terbarunya. Seperti yang terlihat dalam seri karya CMYK (singkatan dari Cyan, Magenta, Yellow dan Black/Key), Arin tidak saja menyajikan lukisan dengan permukaan yang penuh dengan warna-warna berani dan menyala. Tapi ia juga ‘menjerat’ dirinya ke dalam lukisan dengan citra fotografis yang disematkan di belakang lapisan resin yang transparan.

“Saya tidak saja menampilkan renin dengan warna-warnanya, tetapi juga citraan fotografi. Dibuat sedemikian rupa hingga ada hubungan antara dimensi belakang dengan depan. Hasilnya, lukisan ini tidak saja menjadi lukisan abstrak tetapi menjadi figurative painting,”kata Arin.

Dengan metode ini, Arin berharap para pengunjung tidak saja berhasil menangkap gambaran dua dimensi dari lapisan renin, tetapi juga dimensi ketiga. “Mereka tidak saja melihat hasil, tetapi juga proses saat lukisan itu dibuat. Sehingga pengunjung seakan-akan tengah melihat saya menuangkan cat kehadapan mereka,”ujarnya.


Dalam berkarya Arin ternyata juga tidak melupakan aspek ekologis dan konservatif. Terlihat dari upayanya untuk memanfaatkan ‘limbah-limbah’ proses melukis dengan resin menjadi satu bentuk karya lainnya. “Saya sangat menekankan bahwa karya ini harus ramah lingkungan. Sisa-sisa resin hasil pengelupasan tidak saya buang begitu saja. Termasuk karya-karya yang gagal,”kata Arin.

“Saya memilih untuk melakukan recycle (daur ulang). Suatu hari, sisa-sisa resin saya kumpulkan. Kemudian disatukan menjadi sebuah mozaik kotak dan tiang. Hasilnya cukup mengejutkan, terutama karena karya ini adalah bentuk spontanitas. Jadi sangat menarik,”ungkap Arin dengan nada berbangga.

Di seri Debu Vulkanik (Volcanic Dust), Arin menjadikan lukisannya sebagai rekaman sejarah. Dengan menggunakan debu-debu vulkanik sebagai pigmen, Arin berupaya ‘mengawetkan’ tragedi letusan gunung Merapi terbesar di abad ini dalam lukisannya. Hasilnya cukup mengejutkan. Debu-debu vulkanik dari gunung Merapi berhasil memberikan ilusi dan warna yang berbeda dengan karya-karya sebelumnya.

“Masing-masing orang dapat berkontribusi dan menunjukkan rasa simpatinya dengan berbagai cara. Saya menunjukkannya dengan menjadikan debu vulkanik Merapi sebagai bagian dari medium lukisan,”
kata Arin.

Setidaknya 13 lukisan dihasilkan di studionya di Cigadung, Bandung Utara, untuk seri Debu Vulkanik dan ia masih akan menggunakan materi yang sama dalam pembuatan lukisan barunya nanti. “Saya ingin merekam dan menangkap momen tersebut. Jadi para pengunjung tidak sekedar melihat hasilnya, tetapi juga cerita dibalik penggunaan material dan medium yang digunakan. Lukisan ini akhirnya memiliki naratif-nya sendiri,”kata Arin.

Panggung Guggenheim

Siapa yang dapat menduga akhir cerita dari sebuah karya lukisan yang dibuat? Setidaknya itu yang dialami Arin saat menampilkan karya-karya resinnya di seri Debu Vulkanik, pada 2012 lalu.  Saat ia merenungi nasib lukisan berukuran lima meter yang masih teronggok di Galeri Nadi- Jakarta, seorang kurator ternama dari Museum Guggenheim-London, June Yap, sibuk mencari karya-karya seniman Asia Selatan dan Tenggara untuk dipamerkan.


“Ironinya, lukisan yang dipilih untuk dipamerkan ke Museum Guggenheim adalah lukisan yang tidak laku dalam pameran di Jakarta. Sebenarnya, hingga akhir pameran ada dua kandidat yang tertarik. Namun, entah mengapa saat terakhir melihat mereka membatalkan niatnya. Hingga akhirnya June Yap datang,”kata Arin.

June Yap mendapatkan rekomendasi tentang Arin setelah melakukan serangkaian wawancara dengan para seniman dan kurator yang ada di Indonesia. Dan, saat melihat langsung hasil karya Arin, tanpa buang waktu June Yap setuju untuk memboyong seri keempat dari Debu Vulkanik ke New York. “Sepertinya memang sudah jalannya lukisan itu untuk sampai di Guggenheim,”kata Arin yang ikut mendampingi persiapan pameran.

Arin mengaku sempat menanyakan alas an June Yap memilih karyanya. “Dia hanya mengatakan bahwa karya saya sangat sesuai, cocok, dengan tema yang akan ia tampilkan di Museum Guggenheim,”katanya.
Memandang tema yang diusung, ‘No Country: Contemporary Art for South and Southeast Asia’, Arin berspekulasi bahwa karyanya dipilih karena mudah diterima secara general. 

“Tidak ada unsur politik di dalamnya. Lukisan ini juga tidak berbicara tentang Asia saja. Sehingga saya yakin lukisan ini mudah diterima oleh berbagai kalangan di dunia,”kata Arin. “Lukisan ini memiliki kelebihan karena mengandung unsur lokal. Dan, karya ini sama sekali tidak vulgar”.

Lalu, bagaimana pandangan Arin tentang kesuksesannya menggapai Guggenheim, salah satu museum seni terkemuka di dunia yang menjadi kiblat perkembangan modern art? Tampaknya Arin ingin menunjukkan kerendahan hatinya atas prestasinya kali ini. Berbeda dengan sang ayah, maestro seni rupa- Sunaryo Soetono, yang melihat pencapaian anaknya sebagai prestasi luar biasa. “Karya saya saja tidak ada yang sampai Guggenheim,”kata Sunaryo.

“Guggenheim hanyalah salah satu komunitas penting dalam pengembangan modern art. Tetapi masih banyak komunitas lainnya. Selain itu, dalam pemilihan karya Guggenheim sangat subjektif. Jadi bisa saya katakan ini bukan prestasi puncak saya, berbeda jika karya ini tampil di berbagai komunitas,”kata Arin. 

Tubuh, Media Seni Tanpa Batas


Reza Afisina

TUBUHNYA adalah media dalam berkarya seni. Ia bahkan tak canggung untuk mengeksplorasi rasa sakit dan nyeri pada tubuhnya sebagai media untuk menunjukkan pesan. Seperti yang ditampilkan dalam video performance art bertajuk ‘What…”, Reza Afisina berkali-kali menampar wajahnya hingga lebam seakan-akan ia dalam proses introgasi yang brutal, dengan sesekali menyisipkan narasi yang sarat makna.

Menempuh pendidikan dibidang perfilman di  Institut Kesenian Jakarta (IKJ), meski tidak lulus, karya-karya Reza berhasil mendapatkan perhatian dan pengakuan para kurator seni baik dari dalam maupun luar negeri. Bahkan, video performace ‘What…’ yang ia buat pada tahun 2001, telah berulang kali melalang buana.

Karya ini juga pada akhirnya terpilih mewakili Indonesia untuk dipamerkan di museum ternama dunia seni modern dan kontemporari dunia, Guggenheim Museum-New York, bertajuk "No Country: Contemporary Art for South and Southeast Asia", pada 22 Februari hingga 22 Mei lalu, dan kini telah menjadi koleksi tetap museum.

“Saya bersyukur, karya performance art video yang sudah berusia lebih dari 12 tahun itu, menjadi salah satu dari beberapa karya saya yang telah ditampilkan dalam beberapa event festival dan pameran, baik di dalam maupun luar negeri. Bahkan, dalam beberapa kesempatan masuk sebagai materi diskusi dalam kelas kuliah dan seminar tentang seni performans atau medium seni video,”kata Reza yang lahir pada tahun 1977, di Bandung.

Nyatanya video yang berdurasi kurang lebih 11 menit itu, dinilai sebagai salah satu video yang mampu mencapai dimensi artistik dan konten yang sangat kuat. Hingga mampu menjadi tonggak capaian artistic sejarah seni video Indonesia dalam 10 tahun terakhir.  “What…’ juga masuk dalam kompilasi 10 Tahun Seni Video Indonesia yang diterbitkan oleh ruangrupa Jakarta.

Kurator Rifky Effendy menilai, keputusan Museum Guggenheim untuk menjadikan video ‘What..’ sebagai salah satu koleksinya bukanlah hal yang mengejutkan. Pasalnya, video tersebut memang sudah cukup sering ditampilkan dalam berbagai ajang internasional seperti festival, pameran, hingga kuliah umum.

“Sebenarnya tidak terlalu mengejutkan, bahkan bisa dibilang mereka (Guggenheim) sudah ketinggalan zaman karena video ini sudah beredar ke berbagai Negara sejak tahun 2001,”kata Rifky. “Lagipula, Asung (panggilan popoler Reza) termasuk salah satu seniman performans dan videografi Indonesia yang sudah cukup senior. Jadi wajar dan layaklah”.

Selain itu, Rifky menilai Reza cukup berhasil menggambarkan pesan yang ingin disampaikan. “Caranya menyakiti dirinya sendiri, berhasil menggambarkan perjuangan dan rasa sakit yang dirasakan masyarakat Indonesia saat itu setelah terlepas dari kukungan Orde Baru. Dan ia melakukannya secara total, itu kelebihannya”.


Cuplikan Video "What.."

Kecintaan Reza untuk mengeksplorasi tubuh sebagai media dalam berkarya bukan tanpa dasar. Bagi Reza, tubuh adalah bentuk-ruang yang dapat selalu hadir dalam konteks baru selama tidak hancur. Dan, ia memilih medium video dengan kemampuannya merekam untuk ‘memelihara’ bentuk tubuh yang terekam itu.

“Saya kerap tertarik untuk mengeksplorasi gagasan-gagasan yang hadir dalam bentuk medium seni performans, yang melibatkan tubuh, eksistensi tubuh dan ektensi dari tubuh. Biasanya insipirasi muncul dari narasi-narasi kecil di lingkungan sekitar yang bisa saya pelajari kapan dan dalam bentuk apa saja,”ungkapnya.

Bagi reza, berbagai peristiwa dalam kehidupan sehari-hari adalah ‘image’ yang terbentuk. “Bagaimana system dan pola transaksi dalam kehidupan sosial, bukan hanya transaksi ekonomi saja, bisa menjadi begitu penting dan menarik untuk saya gali dan dipresentasikan kembali dalam bentuk suatu karya”.

Keunikan video performance ‘What…’, menurut Reza, terletak pada konteksnya yang masih bisa berlaku hingga saat ini dan beragamnya penilaian yang bisa dihadirkan hanya dengan satu penampilan. “Saya tidak ingin video performance ‘What..’ menghadirkan isu, tema bahkan pesan tertentu. Penilaian atas video itu bisa berbeda-beda dan itu yang saya inginkan,”katanya.

Menurutnya, ‘kejeniusan’ sebuah karya tidak saja berhenti saat dipamerkan. “Eksplorasi medium tidak pernah berhenti hanya sampai karya itu dipamerkan, melainkan hingga ketahapan penilaian dan pembahasan. Dan dengan sendirinya karya itu akan terus secara organik berevolusi,”katanya.

Kehandalan Reza dalam ‘mengolah’ medium inilah yang diduga menjadi dasar dipilihnya ia bersama Arin Dwihartanto Sunaryo untuk mewakili Indonesia dalam pameran di Museum Guggenheim yang berlangsung selama tiga bulan itu.

“Dewan kurator, tim kutorial dan June Yap di Guggenheim Museum, melihat karya video performance art ‘What..’ sebagai sebuah karya yang bisa merefleksikan bentuk eksplorasi medium, bukan hanya berasal dari mana dan dibuat oleh siapa. Sehingga, karya ini bisa dieksplorasi dan diamati berbagai Negara, agama dan perbedaan,”kata Reza yang tergabung dalam organisasi nirlaba Ruangrupa-Jakarta sebagai Koordinator Program Artistik untuk Divisi Laboratorium Seni Rupa.

June Yap sendiri, menurut Reza, tidak secara khusus mencarinya saat mengumpulkan seniman-seniman berbakat Asia yang memiliki karya sesuai dengan tema yang akan ditampilkan di Guggenheim. Meski hubungan keduanya sudah terjalin cukup lama jauh sebelum June Yap memulai ekspedisinya untuk proyek terbaru Guggenheim itu.

Meski sempat bertatap muka, ternyata Reza gagal menunjukkan sejumlah karya-karyanya termasuk video performance art ‘What..’ secara langsung kepada June Yap.  “June Yap hanya mewawancarai seputar proses dan medium karya yang selalu saya buat. Hingga saat June Yap kemudian kembali ke Amerika Serikat, ia teringat dengan video performance ‘What...’,”kata Reza yang menjadikan Yves Klien dan Danny Devos (DDV) sebagai tokoh panutan dalam pembelajaran di wilayah seni performans dan eksplorasi media.

Dalam pandangan Reza, karyanya bisa menjadi bukti bahwa seni dan budaya tidak semerta-merta menjadi jembataan yang bisa ‘dimanfaatkan’ untuk menghubungkan berbagai Negara, agama dan perbedaan.
“Seni dan budaya juga harus berkolaborasi dan berelaborasi dengan berbagai bidang dan disiplin ilmu lain. Dan, bilapun seni menjadi ‘alat’ untuk memecah kebekuan dan perbedaan yang terjadi di wilayah sosial, selama hal itu berakibat baik dan tidak merugikan, maka sepatutnya memang dilakukan. Kenapa tidak, selama tidak ada unsur paksaan,”ungkapnya.

Ini pula yang ditunjukkan Reza dalam video performance art ‘My Chemical Sister (2004)’, yang menggambarkan hubungan antara bahan-bahan kimia dalam kosmetik yang sebagian besar mengandung bahan berbahaya bagi tubuh, dengan pencitraan seorang model yang cantik rupawan sebagai bentuk lain dari rasa sakit.  Bagaimana nafsu manusia untuk mencapai kesempurnaan fisik dapat dikalahkan oleh racun yang secara sengaja dikenakan.

Sebagai seniman, Reza juga tidak pernah takut dalam menyuarakan isi hati, emosi dan pemikirannya. Terutama terhadap para kurator, seperti kolektor seni, pemilik galeri dan berbagai posisi dalam lingkup dunia pasar seni rupa.

“Posisi saya sebagai seniman, terhadap para kurator seni  yang menurut saya tidak menghormati karya dan keprofesian para seniman, tentu akan sangat ‘keras’. Bagi saya bukan sekedar ‘berani’ berhadapan dengan kurator, akan tetapi sudah sepantasnya seorang seniman harus mempunyai posisi dan nilai tawar keilmuan dengan bekal serta pengalaman yang telah dan akan dimilikinya”.

Meski begitu, ia mengaku sangat berhati-hati saat menanggapi masukan dan kritikan dari berbagai pihak khususnya dari dunia tentang image yang akan ia bangun. Ia justru mengaku selalu awas dengan konteks ‘internasional’.

“Tidak sedikit konteks yang dibangun oleh pasar seni rupa tingkat dunia, ternyata tidak memiliki kontribusi pada seni rupa itu sendiri. Kebanyakan malah mubazir, jadi saya memutuskan lebih baik untuk membangun image dari karya dan terus berupaya berkontribusi pada perkembangan seni rupa Indonesia meski dimulai dari wilayah paling kecil”.

Atas prestasinya kali ini, begitu Reza menilainya, meski sangat senang dan bersyukur namun baginya ini bukanlah prestasi puncak. Keberhasilannya ‘mengibarkan’ salah satu karyanya di Guggenheim Museum, tidak lebih sebagai bentuk tanggung jawab secara karier dan disiplin ilmu. “Secara positif, saya menilai pencapaian ini justru membuka peluang untuk mengintropeksi dan mengkritik karya-karya saya selama ini dan yang akan hadir kemudian,”katanya.

Reza juga tidak menutup peluang untuk lebih banyak mengeksplorasi media-media seni lainnya di waktu mendatang. Bagaimanapun, selaku seniman kontemporer ia ‘diwajibkan’ untuk terus mengeksplorasi media lain dalam berkarya.

“Saya harus mengalami eksplorasi medium lain dengan tetap mengembangkan apa yang sudah saya pelajari selama ini, yakni seni performans dan seni video,”kata Reza yang mengaku cukup mengagumi kinerja Ade Darmawan dalam berkreasi, yang kebetulan adalah ‘bos-nya’ di Ruangrupa Jakarta.
Namun, apa yang menjadi pencapaian terbesarnya saat ini? Reza menjawab: “menjadi seorang ayah dari dua orang anak yang menakjubkan”.

Mengabadikan Kematian Dengan Indah


Agus Heru Setiawan bersama salah satu
penjual tanaman hias, Ibu Mul, yang ikut menyumbang tanaman
Kematian tak selalu bicara tentang rasa duka, kesedihan dan ketakutan. Namun kematian juga mengandung keindahan, rasa hormat, dan kenangan (memori). Sisi lain dari kematian itulah yang ingin ditunjukkan seniman fotografi muda asal Yogyakarta, Agus Heru Setyawan, dalam pameran solonya di galeri Garis Artspace Jakarta yang mengangkat tema ‘Museum of Dead Trees (Museum Pohon Mati)’ dan dikurasi oleh Angki Purbandono dan Hermanto Soerjanto.

Saat memasuki ruang pameran yang berlangsung sejak 4 Mei hingga 14 Mei itu, pengunjung langsung disambut oleh gelembung-gelembung indah yang memantulkan warna pelangi. Dari tengah gelembung muncul bayang-bayang tanaman yang tampak kering, tak berdaun, dan layu meski masih dalam keadaan utuh dengan akar. Selintas gelembung-gelembung itu terlihat bagaikan kantung rahim yang tengah melindungi janin.

“Saya selalu menginginkan kematian yang indah untuk dikenang. Dan, melalui kekuatan fotografi kematian yang sering digambarkan dengan rasa sakit, kegelapan dan ketakutan berubah menjadi sesuatu yang indah. Tanaman-tanaman itu telah membuktikan bahwa kematian mereka bisa menjadi sesuatu yang indah melalui tangkapan kamera,”kata Heru begitu sapaan akrabnya.

Heru percaya bahwa seburuk apapun objek yang ditangkap kamera, tidak akan pernah terlihat buruk. Seperti yang disampaikan William Henry Fox, penemu teknik fotografi ‘Calotype –diambil dari kata calos yang berarti indah – bahwa selalu akan ada keindahan dalam fotografi .

“Saya sangat mempercayai cara pandang Fox, meski akan ada perdebatan panjang antar teorisi fotografi akan konstruksi keindahan dalam dunia fotografi. Tapi bagi saya, fotografi akan selalu memberi keindahan. Dan, saat mereka digunakan untuk merekam kematian, maka kematian pun bisa menjadi indah,”kata Heru yang mengenyam pendidikan senirupa di Fakultas Fotografi, Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta pada tahun 2006.

Sebagai seorang fotografer, Heru paham bahwa kamera tidak saja berfungsi untuk menangkap pencitraan suatu benda untuk kemudian mengabadikannya di dalam kertas foto untuk dinikmati. Namun, baginya kamera adalah media terbaik untuk merekam suatu peristiwa ataupun suatu benda sehingga layak menjadi kenangan.

“Melalui foto kita bisa mengungkit kenangan seseorang akan kejadian tertentu, mengembalikan hal yang sudah pernah hilang, salah satunya oleh kematian. Dan, melalui pameran ini saya ingin menyajikan karya seni fotografi sebagai anti-tesis dari kematian itu sendiri,”katanya.

Agus Heru Setiawan, Museum of Dead Trees #1,
digital print on acrylic sheet - neon box installation,
2012, 40 x 40 cm (8 panels)
Menggunakan tanaman-tanaman mati yang umum ditemukan di kehidupan sehari-hari – seperti benih pohon rambutan, papaya, selada ataupun cabai – Heru mencoba mengingatkan para pengunjung pada pentingnya peranan tanaman dalam kehidupan manusia. Betapa manusia sangat bergantungnya pada keberadaannya. Dan, jika hubungan antar keduanya terganggu maka manusia akan dihadapkan pada bencana besar.

“Contoh kecil saja, tanaman adalah sumber makanan manusia yang terbesar. Ia juga menjadi penyeimbang antara kadar karbondioksida dan oksigen di udara. Jelas bahwa keduanya tidak dapat dipisahkan dengan mudah. Nah, sekarang coba bayangkan dunia ini tanpa tanaman,”ajak Heru. “Tapi saat ini manusia sudah lupa. Mereka tidak menyadari besarnya potensi yang diberikan tanaman pada manusia. Manusia modern mulai cenderung tidak peduli dan bersikap tidak adil pada tumbuh-tumbuhan”.

Padahal di masa lalu, kata Heru, hubungan manusia dan tumbuhan terjalin dengan indah, adil, dan rasa hormat. Hal itu bisa dilihat dari peranan tumbuh-tumbuhan terutama bunga, dalam berbagai kegiatan tradisi maupun spiritual. Tumbuh-tumbuhan juga kerap menjadi simbol penting dalam berbagai filosofi Jawa.

“Budaya Jawa yang kaya akan nilai-nilai luhur dan filosofi, kerap menjadikan tumbuh-tumbuhan sebagai simbol. Misalnya, bagaimana manusia diminta untuk bisa bersikap seperti pohon kelapa yang seluruh bagiannya bisa memberikan manfaat bagi makhluk lainnya. Ataupun kerendahan hati yang ditunjukkan melalui batang padi yang kian terisi kian merunduk,”jabar Heru.

Menggunakan tumbuh-tumbuhan sebagai objek foto, bukanlah hal yang baru bagi Heru. Tahun 2012, Heru juga menampilkan foto-foto benih tumbuhan dalam pameran bertajuk ‘Hyperfocal Distance’ yang digelar di Bentara Budaya Yogyakarta. Kecintaannya pada tumbuh-tumbuhan – dan kegiatan menanam – menjadi salah satu pendorong mengapa ia menampilkan karya-karya tersebut.
  
Namun, besarnya masalah lingkungan terkait dengan keberadaan tumbuh-tumbuhan saat ini, mendorongnya untuk berbuat sesuatu. “Saya bergaul dengan teman-teman yang memiliki kepedulian tinggi pada tumbuh-tumbuhan. Mereka juga memiliki real action yang bisa menggerakkan masyarakat sekitar untuk giat menyelamatkan lingkungan. Lalu saya berfikir, sebagai seniman apa yang bisa saya berikan? Mengapa saya tidak menjadikan keahlian saya sebagai fotografer untuk memediasi isu ini. Saya pikir hal itu bisa sangat membantu,”ujarnya.

Ia pun memberi tajuk yang cukup unik untuk pamerannya kali ini, museum untuk tanaman-tanaman mati. Baginya pemilihan kata ‘Museum’ bukan sekedar sebagai ruang pameran semata. Namun layaknya sebuah museum profesional, lengkap dengan proses pencarian – pengumpulan – pemilihan – penyajian  artefak yang diikuti dengan proses kurasi – ia ingin menjadikan pameran kali ini juga memiliki proses yang sama.

“Seperti yang kita ketahui, fotografi adalah media komunikasi. Dan, disini saya berperan sebagai komunikator dimana museum dapat berfungsi sebagai forum diskusi yang kembali menjalin hubungan antara tumbuh-tumbuhan yang mati dengan para pengunjung sebagai perwakilan manusia,”katanya. “Saya ingin menjadikan ‘museum pribadi’ ini menjadi pusat pengetahuan, bagian dari upaya konservasi dan untuk mengawetkan,”ujarnya.

Dimulai pada 2011, ia mulai mengoleksi tanaman-tanaman mati untuk kemudian diabadikan dalam foto. Awalnya hanya tanaman-tanaman dari halaman rumahnya sendiri kemudian ia mulai mencari ke lingkungan di sekitarnya. “Setiap saya menemukan tanaman mati yang menurut saya memiliki nilai artistic, langsung difoto. Tapi lama-lama jenis tanaman yang difoto kian susah didapatkan. Saya pun mencarinya ke pasar-pasar tanaman yang ada di Jogja,”kisahnya.

Proses pembuatan karya dengan menggunakan
gelembung plastik tiup, mainan
anak-anak
Persiapan pameran ini diperkirakan menghabiskan waktu lebih dari satu tahun. Mulai dari proses pencarian, pengumpulan, termasuk mencari elemen-elemen pendukung, proses pemotretan hingga saat foto yang sudah dicetak diletakkan di dalam bingkai (frame). Ia pun memilih gelembung plastic transparan sebagai elemen penunjang keindahan dalam karyanya.

“Saya memiliki kenangan indah dengan mainan yang cukup popular saat kecil dulu. Balon tiup yang berbahan dasar plastik atau cairan lem. Dan saya sangat terkejut saat mainan itu masih ditemukan saat ini. Balon tiup itu menjadi simbol kenangan indah bagi saya,”kata Heru yang meraih gelar master di bidang Antropologi.

Dalam proses pemotretan, Heru tidak menggunakan teknik khusus. Justru teknik yang ia gunakan sangat sederhana. Tanaman mati yang sudah ditata secara artistic ditimpa dengan beberapa lapisan gelembung plastic. Kemudian baru dipotret secara back light.  “Sinar dari kamera ini kemudian memunculkan warna-warna pelangi ketika difoto. Namun, hal yang tersulit dalam pembuatannya adalah meniup gelembung plastic yang ukurannya bisa menutupi tanaman mati yang dijadikan objek. Terutama karena gelembung plastic ini sangat tipis, sehingga sangat mudah untuk robek dan meledak,”katanya.

Meski demikian, Heru mengaku sangat menikmati proses pembuatan karya-karyanya kali ini yang berjumlah lebih dari 40 foto itu. Terutama saat ia bertemu langsung dan berbagi cerita dengan para pemilik ataupun penjual tanaman mati itu. “Masing-masing tanaman yang ditampilkan memiliki ceritanya sendiri. Bagaimana para penjual tanaman tertawa saat saya mencari tanaman mati untuk difoto, namun tetap bersedia membantu. Hingga ekspresi keterkejutan dan kepuasaan saat melihat hasil akhir foto,”ujarnya.

Kedepan, Heru berharap ia benar-benar bisa mendirikan ‘museum’-nya sendiri. Dengan begitu cita-citanya untuk melakukan aksi nyata untuk menyelamatkan lingkungan terutama tanaman, bisa tercapai. “Saya berharap akan segera menemukan tempat yang bisa menampung hasrat ini. Tujuannya cukup sederhana, yakni sebagai media untuk mengingatkan kembali bahwa lingkaran kehidupan manusia dengan makhluk hidup lainnya di bumi harus terjalin dengan harmonis,”tutupnya. Diedit dan diterbitkan di Sarasvati.co.id

Mendobrak Batasan, Kuratorial Seorang Kolektor

Tiga kolektor ternama Indonesia; Dr.Wiyu Wahono, Paula Dewiyanti, dan Arif Suherman, mendapat kesempatan untuk mengkurasi sebuah pameran seni di Umahseni-Jakarta, 25 April lalu. Tugas yang biasanya dilakukan oleh seorang kurator.

Proyek ini memang diluar kebiasaan. Umumnya, kolektor berkomunikasi dengan seniman yang karyanya ia beli melalui galeri, tanpa ada pertemuan langsung. Kebekuan komunikasi itulah yang ingin dipecahkan Leo Silitonga, pemilik galeri Umahseni-Jakarta, dalam pameran bertajuk ‘Beyond Boundaries: When Collector Curates a Show” yang diadakan pada 25 April 2013.

(ki-ka) Arif Suherman, Davy Linggar, Wimo Ambala Bayang,
Agan Harahap, dan Prof Oh Soon Hwa
“Latar belakang proyek pameran kali ini, didasari atas ketidakpuasan para kolektor dan kurator pada hasil kinerja kedua belah pihak. Harapannya, usai pameran ini kolektor bisa lebih memahami kerja seorang kurator,”kata Leo saat pembukaan pameran. “Namun, proyek ini juga membuka peluang para kolektor untuk menjalin interaksi yang lebih sehat dengan senimannya”.

Sebagai proyek perdana, Leo membebaskan para kolektor untuk memilih seniman yang ingin mereka kurasi karyanya. Tujuannya agar tidak ada intervensi galeri dalam penentuan seniman yang akan dipamerkan nantinya. Dr.Wiyu akhirnya memilih fotografer Agan Harahap setelah melampaui pertimbangan yang mendalam. “Saya memiliki gagasan dan ide yang saya rasa Agan-lah yang mampu menerjemahkannya dalam bentuk suatu karya,”papar Dr.Wiyu.

Kolaborasi keduanya tertuang dalam delapan karya fotografi berjudul ‘Project Mercury’, yang menampilkan foto puncak dan lembah Gunung Takuban Perahu di Jawa Barat, sebagai objek foto. Uniknya, baik Agan maupun Dr.Wiyu, tidak ada yang tahu apakah foto yang ditampilkan menggambarkan puncak atau lembah gunung.

Dengan kejeniusannya, Agan yang pernah meraih nominasi Seni dari Galeri Nasional Indonesia berhasil ‘memanipulasi’ persepsi pengunjung tentang apa itu deskripsi atas-bawah, vertical-horizontal, atau realitas-fiksi.

Agan Harahap, Project Mercury 3, 2013, digital print on neon box, 80 x 26.5 cm, 3 editions (1-3)

“Tujuan utamanya adalah merubah cara pandang pengunjung terhadap sebuah karya fotografi. Foto tidak selalu bersifat objektif hanya karena ia merupakan copy dari realitas. Namun, karya fotografi juga bisa bersifat subjektif. Karena apa yang difoto oleh si fotografer adalah realitas pilihan yang diinginkannya untuk dilihat pengunjung,”kata Dr. Wiyu.

Pendekatan berbeda terjadi antara Paula Dewiyanti dengan Wimo Ambala Bayang. Keduanya sudah saling mengenal melalui media sosial Twitter. Meski menurut Wimo, Paula ‘cukup ceweret jika bicara seni’, namun dalam proses kurasi kali ini konsep karya sepenuhnya diserahkan kepadanya. “Kolaborasi ini bertujuan untuk saling belajar dan saya tidak ingin mengintervensi karya-karyanya. Saya membebaskan Wimo untuk berkreasi, saya hanya membantunya untuk merangkum makna karya yang ia ingin sampaikan,”kata Paula.

Sayangnya dalam pameran kali ini, Wimo seakan-akan tidak bisa membatasi imaginasinya dalam berkarya. Di satu ruang, ia menampilkan karya seni fotografi bertajuk ‘Untitled’ yang memperlihatkan miniature seorang pengantin laki-laki yang bersanding dengan ‘seolah-olah’ pengantin wanita dari berbagai sudut foto. Ia melengkapinya dengan menampilkan huruf-huruf akrilik yang merupakan kutipan Tweet Paula tapi disusun terbalik.

Karya Wimo Ambala Bayang
Di ruangan berbeda, ia menampilkan sebuah video yang menampilkan setitik cahaya putih bergerak cepat di pungung-punggung seng, mengingatkan kita pada bayang-bayang cahaya saat melakukan perjalanan dengan kereta api di malam hari, lengkap dengan suara yang mengingatkan kita pada bunyi ‘ceret air mendidih’. Terakhir, ia menampilkan foto Yesus yang lusuh dan hampir hancur - yang ditemukan di tempat sampah dan dipungutnya - membawa kita bertanya-tanya tentang 'tempat' dimana seharusnya ia berada. 

Terakhir, dua sahabat lama - Arif Suherman dan Davy Linggar – berkolaborasi dalam pameran instalasi bertajuk ‘Conferring Life to A Space’. Berbeda dengan kedua seniman lainnya, Davy memilih untuk keluar dari ikoniknya sebagai fotografer handal dengan menampilkan 12 lukisan yang selintas mengingatkan pengunjung pada objek-objek kehidupan sehari-hari. “Di dalam benak saya berfikir, ‘bagaimana rasanya menjadi ruangan kosong’. Dari sanalah muncul ide untuk memberikan jiwa pada ruangan ini, agar bisa menghidupkan kembali imaginasi orang-orang yang memasukinya,”kata Davy.

Pro Kontra Kuratorial Para Kolektor

Saat menerima tawaran Leo Silitonga, ketiga kolektor memberikan respon yang berbeda. Meski sangat menggelitik rasa keingintahuan mereka, tetapi di sisi lain ikut terbesit rasa kekhawatiran akan penerimaan dari masyarakat seni.  “Saat ditawari yang ada dalam benak saya bagaimana agar karya-karya fotografi juga mendapat perhatian dan kesempatan yang sama seperti karya seni lainnya,”kata Dr.Wiyu. 

Paula menilai proyek ini sebagai sebuah pengalaman baru yang patut dicoba, sekaligus beban. “Ini adalah kesempatan bagi saya untuk mengeksplorasi, bermain imaginasi, dan berkolaborasi bersama seniman dalam membuat karya. Namun saya juga merasa tertekan karena tanggung jawabnya sangat besar,”katanya. Sementara, Arif menjadikan proyek ini sebagai peluang untuk membantu seniman sekaligus sahabat lamanya dalam mengeksplorasi imaginasinya, hingga memiliki lebih banyak inspirasi, dan lebih kritis terhadap karya-karyanya.

Davy Linggar dengan karya lukisannya

Selintas apa yang diutarakan para kolektor yang beralih profesi sebagai kurator terlihat cukup ‘manis’. Ketiganya mengklaim dapat berinteraksi dengan sangat baik bersama senimannya masing-masing, yang kemudian disetujui pula oleh para seniman. Namun bagaimana dengan hasil kuratorial mereka, mampukan mereka menjalani tugas-tugas kuratorial dengan baik?

Tema ini pula yang menjadi inti diskusi selama dua jam bersama para awak media dan pengamat seni. Kuratorial Paula paling banyak disorot akibat minimnya informasi – yang ternyata hanya bagian dari kesalahan teknis akibat katalog yang gagal dicetak. Ia dinilai gagal menjalankan tugasnya sebagai kurator karena tak mampu menyampaikan makna yang ingin disampaikan si seniman, hingga mudah diterima oleh pengunjung.  

Tetapi, Paula sebagai ‘kurator’ pemula dalam pameran ini menolak dinyatakan gagal. Meski ia sendiri juga tidak mengklaim bahwa kuratorialnya berhasil. Menurut Paula, apa yang ia lakukan sangat mendeskripsikan tema pameran kali ini, menembus batas. Ia menolak untuk ‘bersikap’ selayaknya kurator-kurator professional selama ini, yakni menuliskan kuratorial yang dipapar dengan sangat panjang dan mendetail.

“Mengapa saya harus menulis seperti mereka (kurator professional)? Mengapa saya tidak bisa mengekspresikan apa yang saya lakukan bersama Wimo dalam pameran ini? Saya memang sengaja membiarkan tulisan ini menjadi tulisan abstrak,”ujar Paula dengan suara yang menggebu-gebu.

Ia juga enggan melakukan ‘tradisi’ para kurator yang terkesan membatasi cara para pengunjung ‘membaca dan memaknai’ karya-karya seniman. “Mengapa saya harus membatasi apa yang ‘dibaca’ pengunjung dengan isi kuratorial. Inilah inti pameran ‘Beyond the Boundaries’, menembus batas-batas termasuk dalam kuratorial”. Mencoba ‘membela’ kuratornya, Wimo juga mengajak para pengunjung untuk mulai terbuka dengan ide ‘kuratorial sebagai bagian dari seni’.

Dr.Wiyo juga setali seuang dengan pernyataan Paula. Menurutnya, selama ini katalog yang dituliskan kurator kurang banyak memberikan informasi yang dibutuhkan oleh mereka selaku kolektor, maupun pengunjung galeri.  “Saya berharap melalui kuratorial saya, pengunjung dan pembaca katalog bisa mempelajari sesuatu. Jika mereka tidak belajar sesuatu, maka saya gagal dalam mengkurasi pameran,”katanya.

Di akhir diskusi, ketiga kolektor sekaligus kurator itu - Dr.Wiyu, Paula, dan Arif – kompak menolak tuduhan yang mengatakan mereka ingin terlihat jauh lebih hebat dibandingkan kurator professional lainnya dengan menerima tawaran tersebut. “Kami hanya ingin bersenang-senang, membuat sesuatu, mengalami pengalaman baru dan berinteraksi langsung dengan seniman dari awal hingga proses akhir pembuatan karya,”kata Dr.Wiyu.

Kurator tamu dari Universitas Teknologi Nanyang-Singapura, Prof Oh Soon-Hwa, menilai apa yang dikeluhkan para pengunjung atas kuratorial Paula sangat wajar. Namun, ia juga tidak menyalahkan apa yang dilakukan Paula dengan ‘cara barunya’ membuat kurasi. “Bagaimana seseorang memandang hasil kuratorial sangat bergantung siapa dia. Mungkin bagi Paula dan Wimo, mereka menulis bagi audiens seni yang memang mengerti betul tentang seni. Bukan untuk semua orang yang mengunjungi seni, itulah mengapa tulisannya abstrak. Sementara, para pengunjung berharap dengan kuratorial mereka bisa memahami maksud si seniman melalui karyanya,”kata Soon-Hwa.


Dr.Wiyu Wahono (ka) 

Sejarah Kurator Indonesia yang Unik

Menanggapi ‘aksi pemberontakan’ Leo Silitonga melalui pamerannya bertajuk ‘Beyond the Boundaries’, kurator Asikin Hasan menilainya sebagai sesuatu hal yang ‘ketinggalan zaman’.  Dalam dunia seni internasional, seorang kolektor karya seni ternyata cukup banyak yang memainkan multiperan baik sebagai pemilik galeri seni, museum seni maupun kurator. Namun di Indonesia hal tersebut justru dinilai cukup baru meski sering ditemukan.

“Tidak ada peraturan resmi yang mengatakan siapa saja yang berhak menjalani profesi kurator. Siapa saja boleh, termasuk kolektor,”kata Asikin Hasan, mantan wartawan tempo yang sekarang menjadi kurator untuk Galeri Nasional di Jakarta.

Perjalanan kemunculan kurator di Indonesia, menurut Asikin, juga cukup unik. Tidak seperti di Negara-negara maju, mayoritas kurator berlatar belakang pendidikan sejarah seni. Sementara, kurator Indonesia muncul dengan berbagai latar belakang pendidikan dan keahlian. “Kemunculan  kurator di Indonesia, lebih karena kebutuhan. Saat jumlah perupa semakin banyak, pameran juga bertambah banyak khususnya di luar negeri, akhirnya seperti ada kebutuhan khusus akan infrastruktur lain di dunia seni yang disebut kurator,”jabarnya.

Adalah Jim Supangkat, promotor dunia kuratorial di Indonesia. Kesadaran akan kebutuhan kuratorial dimulai saat Jim masih berprofesi sebagai seniman, mulai kerap berpameran ke luar negeri di akhir era 1980-an. "Jika saya membawa seniman-seniman kita berpameran keluar negeri, mereka pasti akan memertanyakan kurasi karya-karya itu,"kata Jim. 


Setelah berdiskusi cukup serius dengan berbagai kurator Amerika, Jim memberanikan diri untuk melabeli diri sebagai kurator independen tepat di tahun 1990. Minusnya insititusi pendidikan sejarah seni di Indonesia memaksa Jim untuk mempelajari teori-teori seni dunia secara otodidak. Upayanya pun berbuah manis, secara perlahan kesadaran akan kebutuhan kurasi pameran mulai menyebar di tanah air. Galeri-galeri komersial yang sebelumnya hanya memajang karya tanpa kurasi apapun, mulai menyewa Jim untuk memaknai karya-karya seniman. "Mereka mulai sadar masyarakat akan lebih mudah mengerti makna pameran jika dibantu kurasi," kata Jim sembari tertawa. 

Perbedaan latar belakang inilah yang akhirnya membuat kurator-kurator Indonesia menjadi unik ketimbang kurator dari Negara lainnya. Bahkan, menurut Asikin, kurator Indonesia jauh lebih kreatif dan hidup karena kurasinya berdasarkan pengalaman di lapangan. “Kurator-kurator Indonesia lebih memahami persoalan isi perutnya, karena sebelumnya dia adalah seorang seniman atau yang dekat dengan proses seni. Berbeda dengan kurator di Negara lain yang cenderung ‘dingin’ karena miskin pengalaman langsung di lapangan. Lebih banyak berinteraksi dengan teori-teori di dalam silabus,”kata Asikin.

Perkembangan kurator Indonesia akhirnya ikut mempengaruhi perkembangan seni di tanah air. Berdasarkan pengamatan Asikin, pameran-pameran seni di Indonesia kini jauh lebih baik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. “Terlihat sekali perkembangannya, jauh lebih baik. Bagi dari segi wacana, katalog, penulisan dan display. Dulu kalau orang datang ke pameran, banyak yang tidak tahu apa artinya. Sekarang pameran sudah dipersiapkan jauh lebih matang dengan katalog yang lebih mudah untuk dipahami,”ujar Asikin.

Saat ini cukup banyak kurator-kurator independen Indonesia yang sudah mendapat pengakuan di dunia. Sebut saja Jim Supangkat dan Enin Supriyanto yang sebelumnya seorang seniman. Agung Hujatnikajenong, lulusan Fakultas Seni Rupa Institut Teknologi Bandung (ITB) namun gemar menulis, dan kini menjadi kurator Selasar Sunaryo.

“Melihat latar belakang sejarah kurator di Indonesia, tidak tertutup kemungkinan satu saat akan ada kolektor di Indonesia yang menjadi kurator, kurator profesional. Namun, serahkan kepada masyarakat untuk menilai bagaimana kinerja mereka sebagai kurator. Saya tidak berhak untuk menilai kelayakan dan kepantasan mereka,”katanya.

Sementara itu kurator dari Universitas Teknologi Nanyang-Singapura, Prof Oh Soon-Hwa, mengingatkan agar para seniman berhati-hati dengan ketidakbakuan sistem infrastruktur di Indonesia. Terutama saat kolektor begitu dekat dengan seniman, yang menurutnya bisa memberikan ancaman besar. Ia mengumpamakannya seperti pisau bermata dua.

“Di satu sisi, proses ini memberikan keuntungan bagi si seniman terutama mereka yang belum memiliki nama. Dengan adanya sokongan kolektor sebagai kuratornya, ia bisa berkarya tanpa harus memikirkan masalah pendanaan. Namun, di sisi lain keterlibatan kolektor yang terlalu mendalam bisa mempengaruhi seniman dan membahayakan kebebasan dan kreatifitasannya,”kata Soon-Hwa yang juga seorang seniman fotografi.

Soon-Hwa juga melihat proyek ini sebagai bukti pengembangan dunia seni Indonesia yang lebih ‘demokrasi’. Para kolektor dapat berinteraksi lebih dekat dengan para seniman, mengenal sang seniman, memahami proses pembuatan karyanya, dan menyelami makna yang dimaksud.  (diedit dan diterbitkan di Sarasvati.co.id)

I Bagus Putu Purwa: Menangkap Emosi Dalam Warna


Ida Bagus Putu Purwa (ist)


Tubuh-tubuh kekar dengan lekukan otot yang tampak nyata, saling bersinggungan tak teratur di dalam satu kanvas dengan berbagai posisi. Ada yang duduk meringkuk seakan-akan merasa takut. Ada pula yang menungging, jongkok, berbaring, dan telentang sembari meregangkan tubuh bak pertunjukan tari kontemporer.

Kemunculan figur-figur itu kian ramai dengan adanya warna-warna terang nan kontras di bagian latar. Sejenak, warna-warna itu berhasil mengalihkan focus pandangan pengunjung. Ternyata itulah yang diinginkan sang pelukis yang menjadikan warna latar sebagai fokus utama bukan figur-figur kekar yang dijadikan sebagai ‘figuran’. Bahkan, di beberapa lukisan warna-warna mencolok itu dipilih sebagai tema.

Ida Bagus Putu Purwa, Moving, 2013, print on acrylic mica, variable size

Lukisan-lukisan tersebut adalah karya terbaru dari pelukis berbakat asal Bali, I Bagus Putu Purwa, yang ditampilkan dalam pameran solo keduanya di galeri dia.lo.gue artspace, Kemang-Jakarta. Ada 12 karya terbaru yang ditampilkan dalam pameran yang berlangsung sejak 18 April hingga 12 Mei itu. Adapun tajuknya adalah ‘Imba Tubuh’ (“Illustrating the Human Body”) yang dalam bahasa Kawi (Jawa Kuno) berarti sosok atau bentuk.

“Melalui karyanya kali ini, Purwa ‘mengimba’ tubuh dalam berbagai gerakan (yang terbekukan), posisi, ataupun agem – istilah yang digunakan untuk menyebut gerakan dalam tarian Bali. Dimana kesemuanya dikombinasikan dengan bidang gambarnya,”kata Penulis seni - Vidyasuri Utami - yang berkesempatan menuliskan hasil ‘pembacannya’ pada karya-karya terbaru Purwa.

Saat memasuki ruangan galeri, pandangan pengunjung langsung disambut oleh lukisan berukuran 200x285 cm, berjudul ‘Under the Full Moon’. Bagi mereka yang mengenal karya-karya Purwa sebelumnya pasti langsung menyadari perbedaan yang ada. Purwa tak lagi menampilkan satu sosok figur, sebaliknya menampilkan belasan figur dengan berbagai pose. 




Ida Bagus Putu Purwa, Under the Full Moon, 2012, oil & charcoal on canvas, 200 x 285 cm

Figur-figur itu juga tampak diam, tak seperti karya-karya Purwa lainnya yang tampak bergerak seperti tengah terbang atau melompat tinggi. Latar yang sebelumnya hanya menjadi bagian dari natar (bidang gambar), kini hidup dengan munculnya warna-warna kontras.

Utami juga menyampaikan keterkejutannya dalam pengantar di katalog ‘Imba Tubuh’. “Saya sedikit kaget – dan tertarik (intrigued) – saat saya melihat latar di karya-karya terbaru Purwa. Latar atau ruang gambar cenderung absen ataupun berpadu dengan natarnya. Ini adalah sebuah perkembangan formalistic visual yang cukup menarik,”tulisnya. 

Menurut Utami, hal menarik dari latar dalam karya Purwa adalah keselarasan komposisi antara figur-figur dengan natar.  “Secara sederhana, kita bisa merasakan munculnya ruang dalam peletakan subjek-subjek di karya Purwa. Tapi saat kita memasukkan elemen persepektif, ruang tersebut menjadi luluh karena objek yang muncul tak Nampak memiliki perspektif melainkan flat/datar,”tulisnya.

Melalui karya-karyanya ini, sepertinya Purwa ingin menunjukkan pencapaian barunya dalam mengeksplorasi ide dan imaginasinya. Detail-detail tubuh hadir lebih kuat dari sebelumnya. Meski terkesan ia mengesampingkan gerak yang selama ini menjadi ciri khas dalam karyanya. John Cage, komponis sohor asal Amerika pernah mengatakan, “Tindakan eksperimental adalah salah satu hasil yang tidak terduga”. Itu pula yang diharapkan Purwa yang mengaku mulai bosan dengan gaya lamanya.

“Eksplorasi tubuh dalam karya-karya sebelumnya belum memuaskan saya sebagai pribadi. Saya mulai jenuh dengan gaya melukis yang lama. Saya ingin mengeksplorasi hal baru, salah satunya dengan warna-warna dan medium lukis yang berbeda,”kata penggemar motor tua ini. 



Ida Bagus Putu Purwa, In yellow, 2013, oil & charcoal on canvas, 150 x 130 cm

Dalam beberapa lukisan, warna biru dan kuning memang sangat menonjol ketimbang figur-figur yang menampilkan berbagai pose. Seperti yang terlihat dalam lukisan berjudul In Yellow, In Blue, dan Golden Moon. Purwa juga tidak khawatir figur dalam lukisannya akhirnya terkaburkan oleh warna latar, karena memang bukan figur yang menjadi inti dalam lukisannya.

“Warna-warna itu bukan hanya latar, justru menjadi tema dalam karya itu. Melalui warna saya ingin menunjukkan perasaan saya. Warna biru seperti yang muncul dalam ‘Under the Full Moon’ menunjukkan perasaan saya yang tengah galau, bingung dan depresi. Sementara warna kuning dan merah yang muncul dalam ‘Golden Moon’ identik dengan harapan, semangat, dan antusias,”kata Purwa yang lahir di Sanur, Bali, pada 1976.

Meski hanya sebagai latar, Purwa tetap memperkuat kehadiran figure-figur itu dengan menampilkan ekspresi dan gerak tubuh yang sangat mudah dibaca oleh mereka yang melihat. “Ekspresi dan emosi dari masing-masing figur sangat penting. Meski dalam posisi tertegun, termenung dan diam, tetap ada emosi didalamnya. Tidak saja figur bergerak yang bisa menunjukkan emosi, seperti yang selama ini saya tampilkan,”katanya. 


Ida Bagus Putu Purwa, 3 Dunia, 2013, oil & charcoal on canvas, 120 x 300 cm

Dalam beberapa lukisan, Purwa juga memunculkan lingkaran-lingkaran tegas untuk memperkuat makna. Seperti pada lukisan berjudul ‘3 Dunia’, Purwa menggunakan lingkaran sebagai simbol ‘batas’ tiga dunia yang terinsipirasi dari kepercayaan agama Hindu dan kebudayaan masyarakat Bali tentang hubungan dunia bawah (gaib), dunia manusia, dan dunia atas atau dunia para dewa.

Namun sayangnya, kemunculan lingkaran-lingkaran yang seakan-akan dibentuk dengan jangka itu ikut ‘membatasi’ pandangan pengunjung atas karyanya. Sehingga tanpa disadari menghilangkan makna kebebasan yang selama ini diagung-agungkan Purwa dalam setiap karyanya.

‘Pembaruan’ lainnya dalam karya Purwa kali ini, adalah penggunaan media kertas sebagai pengganti kanvas. Meski dalam seni rupa klasik medium kertas bukanlah hal baru, namun saat ini keberadaannya dipandang sebelah mata oleh seniman-seniman kontemporer. “Saya mengeksplorasi kertas sebagai media lukis sejak awal tahun 2013, setelah ditantang galeri Berlin Avantgarde, Jerman, untuk menampilkan lukisan diatas kertas. Ini hal baru buat saya, sebelumnya tidak pernah menggunakan kertas. Tapi saya cukup puas dengan hasilnya,”kata Purwa.

Dalam pameran duet bersama seniman Belanda - Marianne van Heeswijk, di Berlin Avantgarde, Purwa menampilkan 22 karya lukis dengan kertas sebagai media. Tak jauh berbeda dengan karya yang ditampilkan di dia.lo.gue artspace, figur-figur lelaki dengan tubuh berotot tetap menjadi pilihannya untuk ‘berbicara’.  

“Dari awal saya memang tertarik menggunakan bahasa tubuh sebagai karya. Bagi saya, bahasa tubuh lebih memiliki makna dibandingkan kata-kata. Bahasa tubuh tidak dapat berbohong,”katanya. “Dan, bahasa tubuh sangat tepat menjadi salah satu cara untuk mengekspresikan diri. Itulah mengapa saya menonjolkan tubuh laki-laki untuk mengekspresikan perasaan, emosi dan imaginasi saya”.

Sedikit perbedaan muncul pada figur-figur yang dilukiskan. Mereka tidak lagi didominasi warna kelabu seperti selama ini yang dilakukan Purwa. Warna merah, hijau dan biru mendominasi dalam beberapa lukisan. Ada yang siluet tubuhnya berwarna merah bata, sementara lukisan lain berwarna biru. Purwa juga menambahkan ornamen-ornamen lain seperti kipas bali di dalam lukisan, hal yang selama ini ia tinggalkan.

“Melihat sesuatu yang sama, lama-lama jenuh juga. Saya lalu mencobanya dengan menambahkan warna dan ornament-ornamen tambahan lainnya,”kata Purwa yang lulus dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia, di Bali, pada 1998.

Saat mengeksplorasi media kertas, Purwa mengaku mendapatkan sejumlah hambatan.  Tidak saja karena ukurannya yang jauh lebih kecil, tetapi juga karena sifat kertas yang berbeda dengan kanvas. Teknik lukis yang selama ini ia gunakan tidak semerta-merta berhasil saat digunakan ke media kertas. Alhasil puluhan jenis kertas dengan goresan kuasnya berakhir di tong sampah.

“Media cat minyak dan arang saat dipindahkan ke media kertas ternyata memberikan hasil yang sangat berbeda. Begitu pula dengan teknik dusel (usapan) yang selama ini saya gunakan, ternyata tidak mudah diterapkan di kertas,”katanya.

Utami menggambarkan karya-karya lukis Purwa di media kertas “tampil lebih halus dan lebih detail” ketimbang karyanya dengan kanvas. “Kita sering luput untuk mengapresiasi sebuah karya berukuran kecil. Padahal proses penciptaan dan upaya yang dibutuhkan sama besarnya dengan karya-karya berukuran besar,”katanya. “Natar yang kecil memberikan tantangan tersendiri bagi pelukit untuk menampilkan objek/subjeknya dengan sempurna. Dan, Purwa mampu melakukannya dengan baik’. (Diedit dan diterbitkan di Sarasvati.co.id)