Rabu, 03 Juli 2013

Seni Kontemporer Korea Di Ranah Klasik

Para seniman Jeju-Bali yang terlibat dalam pameran di Galeri Nasional
(maaf blur ya, kamera lagi tak beres)

Delapan belas seniman dari pulau Bali dan Jeju – masing-masing diwakili sembilan seniman – mengadakan pameran bersama di Galeri Nasional Indonesia (GNI) Jakarta, dari 29 Mei-9 Juni 2013. Melalui pameran yang mengangkat tema Determination of Two Islands ini, para penikmat seni diajak untuk mengenal wajah baru seni rupa dari kedua pulau yang lebih dikenal sebagai pusat kesenian tradisional di negaranya masing-masing.

Perkembangan seni rupa di dua pulau yang lebih dikenal sebagai tujuan wisata – Bali dan Jeju –tumbuh pesat dalam beberapa tahun terakhir. Karya-karyanya tidak lagi terpaku pada unsur religi, tradisi, dan klasik, namun jauh lebih inovatif dan modern. Melalui pameran ini, para seniman berupaya memberikan gambaran yang lebih luas tentang perkembangan seni rupa Bali dan Jeju saat ini, sembari menyisipkan narasi tentang sejarah kedua pulau. Namun pameran ini juga memicu pertanyaan, apakah perkembangan senirupa kontemporer di kedua pulau dapat bersinergi dengan senirupa klasik yang sudah lama mengakar? Akankah perkembangan ini akan mengubah identitas pulau sebagai pusat kebudayaan di masing-masing negara?

karya Mangu Putra, Dia Menatapku #4, 2013,
oil and pastel on linen, 160 x 210 cm (pic. suci)
Delapan tahun lalu, lima seniman kontemporer asal pulau Jeju – Korea Selatan dan lima seniman kontemporer Bali mengadakan pameran seni bersama di Galeri Seni Tonyraka, Ubud-Bali. Pameran tersebut mengawali kedekatan hubungan antar seniman dari dua pulau yang lebih dikenal sebagai tujuan wisata terbaik di Asia itu. Tiga bulan usai pameran perdana di Bali, giliran seniman kontemporer Bali berkunjung ke Pulau Jeju-Korea Selatan dan menggelar pameran bersama.

Pada 29 Mei 2013, seniman Bali-Jeju kembali mengadakan pameran bersama untuk yang ketiga kalinya. Pameran tersebut diadakan di Galeri Nasional Indonesia (GNI) – Jakarta dengan mengangkat tajuk Determinationof Two Island: Jeju-Bali. Pameran yang diadakan atas kerjasama Tonyraka Art Gallery dan Vaneasa Artlink Jakarta ini, berlangsung hingga 9 Juni 2013. Jumlah seniman yang terlibat lebih banyak dibandingkan dua pameran sebelumnya, mencapai 18 orang masing-masing sembilan seniman Bali dan sembilan seniman Jeju.

Mewakili Bali: seniman Mangun Putra, Srihadi Soedarsono, Chusin Setiadikara, Nyoman Erawan, Made Wianta, Nyoman Nuarta, Wayan Sujana Suklu, Teja Astawa, dan Tjandra Kirana. Sementara, seniman Jeju diwakili oleh Joe Jae Hwan, Jung Yong Sung, Kang Yo Bae, Koh Gill Chun, Lee Jong Gu, Lee Myoung Bok, Shin Hak Chull, Son Jang Sup, dan Yang Mi Kyeong.

Pendiri TonyrakaArt Gallery sekaligus sponsor ketiga pameran Bali-Jeju – Tony Hartawan mengatakan, pameran ini tidak saja bertujuan untuk mempromosikan karya-karya seni kontemporer dari masing-masing pulau tetapi sekaligus menjadi media untuk mempererat hubungan antar seniman kedua pulau yang diklaim memiliki banyak kesamaan. Menurut Tony, kedua pulau tidak saja memiliki status yang sama sebagai pulau wisata, geografisnya sebagai pulau kecil yang jauh dari pembangunan daratan utama (Jawa dan Seoul), tetapi juga memiliki latar perkembangan kebudayaan dan kesenian yang sama.

“Akar kebudayaan tradisional di Bali maupun Jeju, sama-sama kuat. Seluruh aktivitas penduduknya masih dipengaruhi oleh nilai-nilai spiritual dan tradisi kebudayaan yang masih menjunjung tinggi harmoni antara manusia dan alam,”kata Tony seperti yang tertulis di dalam pengantar katalog.

Karya-karya yang ditampilkan dalam pameran tersebut cukup jauh dari kesan klasik yang sudah menjadi ciri khas masing-masing pulau jauh sebelumnya. Tidak lagi ada karya seni bertutur khas Bali. Kegiatan keagamaan, tradisi dan objek alam tidak lagi menjadi tema, sebaliknya didominasi oleh sejarah lampau kedua pulau.  “Karya yang ditampilkan murni lahir dari imaginasi kreatif sang seniman. Dipengaruhi berbagai faktor yang memasuki ruang budaya mereka dan secara kontinyu mencampur adukkan berbagai unsur di dalamnya,”kata Tony.

Seperti karya Mangun Putra berjudul Dia Menatapku #4, yang mengangkat isu marginal dan runtuhnya tatanan kepedulian dan kepekaan sosial di tengah masyarakat. Bagaikan foto, Mangun melukiskan sosok pria berperawakan kurus dengan tubuh yang penuh luka menoleh ke pengunjung yang memperhatikannya. Namun yang menarik perhatian pengunjung adalah tatapan matanya yang menyiratkan keputusasaan. “Ia mempertanyakan kepedulian sosial saat ini. Jelas terlihat dari ekspresi, bahasa tubuh, dan catatan-catatan yang bisa dibaca”. 

karya Lee jong Gu, Water-Happiness, 2002.
acrilyc on rice paper sack, 160 x 158 cm
Sementara sang kurator, Jim Supangkat mengatakan  sosok pria di dalam lukisan itu merupakan salah satu anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) yang menjadi korban pembantaian besar-besaran di Bali sekitar tahun 1965-1966. “Itu adalah tatapan terakhirnya sebelum memasuki lapangan eksekusi,”kata Jim kepada Sarasvati.

Adapula karya Nyoman Herawan berjudul Seri Ritual Kontemporer, yang menampilkan sosok pria – yang lebih mirip dirinya sendiri – sedang duduk dengan pose bagaikan sang Budha yang tengah bertapa diatas hamburger. Pada latar ia menambahkan berbagai logo makanan fast food ternama yang membanjiri Indonesia. Lagi-lagi, Nyoman menyajikan karyanya yang menggali kebudayaan Bali melalui ikon-ikon ritual Bali yang berdialog dengan realitas modern.

Di sudut lain ruangan, seniman asal Korea Selatan – Joo Jae Whan – menampilkan karya fotografi yang menggambarkan kondisi sebuah kota paska-perang. Melalui karya berjudul Dizziness ini, Joo Jae menunjukkan bahwa identitas Korea Selatan saat ini tidak bisa terlepas dari kisah perperangan yang melibatkan Korea Utara dan Amerika pada 1950-1953. Secara apik ia menggambarkan aksi protes seorang biksu yang tengah menjalani ritual bakar diri disaksikan oleh sosok yang mirip Budha dihadapannya tanpa berbuat apa-apa. Sosok ini kemudian berganti menjadi deretan tentara dalam serial lukisan yang berbeda.

Tidak ada proses kurasi yang cukup ‘serius’ dalam pameran ini. Seperti yang disampaikan Jim, pameran ini tidak memiliki sebuah tema khusus untuk diangkat. Tidak ada benang merah yang menyatukan cerita masing-masing karya yang ditampilkan. Jim sepenuhnya mempercayakan para seniman untuk menampilkan karya yang bisa mewakili dirinya dan negaranya sendiri. “Seniman Korea sangat jujur pada dirinya sendiri. Mereka tidak sibuk mencocokan diri dengan contemporary art. Sehingga karya-karya yang ditampilkan tidak terlalu spektakuler,”kata Jim kepada Sarasvati.

Jim juga mengaku terkejut dengan karya seni kontemporer yang ditampilkan para seniman Jeju. Menurutnya ide kreatif yang dipilih sangat original dan tidak menghilangkan semangat kedaerahannya. Berbeda dengan karya Kontemporer yang berkembang di Amerika ataupun Eropa, dimana kontemporernya lebih menonjolkan lifestyle. Begitu juga dengan karya seniman Bali yang lebih memilih tema dekat dengan kehidupan masyarakatnya. Tema yang diambil, menurut Jim, lebih konservatif dibandingkan karya-karya kontemporari yang lifestyle dan urban. 

“Seakan-akan ada wilayah periferi untuk karya kontemporer di luar Amerika dan Eropa. Dalam perkembangannya wilayah ini kerap tidak diperhatikan. Tapi kontemporari Jeju tidak memaksakan diri untuk mengikuti gaya pendahulunya dan lebih menampilkan kekhasannya sendiri,”kata Jim.

Karya Kang Yo Bae dengan judul the Sky of the North West (2009) dan the Waterfalls (2007), menurut Jim dengan jelas menunjukkan keterikatannya pada landscape. “Landscape Kang Yo Bae lebih ke landscape Jen, bukan seperti yang berkembang di Eropa,”kata Jim. Karya lukisan menarik lainnya ditunjukkan Jung Yong Sung dalam tiga seri lukisannya berjudul ‘The Face’.  Hanya dengan menggunakan charcoal dan debu, Jung Yong melukiskan wajah-wajah dengan penggambaran yang sangat kabur. “Namun kita tetap bisa melihat spiritnya,”kata Jim.

Adapula ide yang menurut Jim “cukup aneh untuk sebuah seni contemporary”, seperti karya Lee jong Gu berjudul Water – Happiness (2002) dan Water – Life (2002). Selintas tidak ada yang spektakuler dari lukisan mangkuk berisikan air bening itu. “Kanvasnya adalah kantung beras (rice paper sack) yang sudah diperlakukan khusus,”kata Jim. Ide menggunakan mangkuk minum sebagai objek lukisan, menurutnya juga menandakan bahwa seniman-seniman Jeju tidak pernah bisa melepaskan identitasnya sebagai seorang rakyat biasa, petani, dan nelayan.

Sama halnya seperti yang ditunjukkan Koh Gil Chun dalam karya lukisannya Sleeping Chetzemoka (2009), yang menampilkan perahu nelayan sebagai objek. “Karya itu adalah wujud simpatinya pada nelayan,”kata Jim. Namun keunikan dari karyanya adalah metode lukis yang digunakan. Koh Gil menggukan metode lama ‘menjiplak’ yakni dengan menempelkan kertas kanvas khusus yang telah diberi warna hitam. Kertas yang sudah ditempelkan di seluruh bagian tubuh kapal, kemudian diarsir menggunakan pots lot khusus sehingga memunculkan bayangan perahu dengan warna logam yang kentara. “Metodenya khusus, sayang saya tidak begitu paham saat dia ceritakan,”kata Jim.

Dalam beberapa decade terakhir, seni kontemporer Korea Selatan berkembang sangat pesat hingga mampu mengambil alih ‘tahta’ kesenian Asia yang sebelumnya dipegang oleh China dan Jepang. Ketertarikan pada karya seni Korea bukan saja karena harganya yang jauh lebih murah dibandingkan karya seni China – hingga berada di luar jangkauan para kolektor – dan kualitas karya yang tidak tertinggal jauh. Tetapi juga karena tema-tema yang dipilih sangat beragam. Berbeda dengan lukisan-lukisan China yang setia pada tema-tema tertentu dan media cenderung mendominasi.

karya Nyoman Nuarta, Leopard 3, patina copper and brass,
150 x 60 x 90 cm
Selain itu, pemerintah Korea Selatan juga menyadari bahwa perkembangan kebudayaan dan kesenian harus didukung oleh infrastruktur seni yang kokoh, termasuk upaya ‘promosi’ secara berkelanjutan. Sehingga saat ini dapat dengan mudah ditemukan instansi pendidikan seni, galeri dan rumah lelang di Korea. Keberadaan mereka juga menyuburkan munculnya seniman-seniman muda di tanah Korea. Jelas Korea Selatan banyak belajar dari tetangga mereka, China. Korea semakin gencar memperkenalkan kebudayaan mereka dengan membangun, misalnya, pusat kebudayaan Korea di berbagai Negara. Bahkan, pemerintah Korea Selatan baru-baru ini telah meresmikan Pusat Kebudayaan Korea di Jakarta.

Upaya ini juga didukung oleh berbagai stake holder lainnya. Sejumlah galeri swasta ikut mendirikan cabang di kota-kota besar seperti New York untuk mengambil keuntungan dari minat para kolektor Barat. Bahkan pelaku bisnis di bidang lainnya juga ikut membangun sejumlah museum seni pribadi. Misalnya, perusahaan Samsung yang memiliki koleksi seni pribadi. “Koleksi kontemporernya bahkan lebih lengkap dibandingkan museum-museum yang ada di Eropa dan Amerika,”ujar Jim. Perhatian dan keterlibatan dari pemerintahan ini tidak dijumpai di Indonesia. Alhasil, perkembangan infrastruktur seni di Indonesia kacau balau.

Peran Jeju dalam perkembangan sejarah seni di Korea Selatan, diawali sekitar tahun 1980an. Saat itu, pemerintah memutuskan untuk lebih mengembangkan Jeju selain sekedar tujuan wisata juga sebagai pusat pengembangan kebudayaan dan kesenian Korea. Jeju bahkan sempat menjadi lokasi untuk pengadaan pameran seni tingkat internasional, Biennale, yang pertama diadakan di Koea Selatan. Namun, rencana itu dibatalkan dan dipindahkan ke kota Gwangju. Seluruh anggaran pembangunan infrastruktur seni dipindahkan ke Gwangju. Berbagai fasilitas pendukung kegiatan kebudayaan dan kesenian dibangun. “Gwangju dibangun cukup besar, bahkan saat ini Gwangju Biennale dikenal termahal di dunia,”kata Jim.

Meski demikian, infrastruktur seni di Jeju tetap dikembangkan. Sekarang, di pulau kecil itu sudah berdiri museum seni terbesar di Korea Selatan. Akan tetapi, kehadiran para wisatawan domestik dan mancanegara ternyata ikut mempengaruhi gaya kehidupan masyarakat Jeju termasuk dalam berkesenian. Seni yang semula murni sebagai salah satu media untuk menunjukkan identitas daerah, mulai bergeser mengikuti kehendak pasar.

Hal yang sama juga terjadi di Bali. Tony dari Tonyraka Art Gallery mengatakan, saat sebuah komunitas kehilangan identitasnya maka bisa terjadi dua hal. Pertama, komunitas itu akan lenyap karena krisis identitas. Atau, kedua, akan terbentuk komunitas baru dengan identitas baru. “Jeju dan Bali, adalah salah satu komunitas yang berhasil bersinergi dengan budaya-budaya baru yang masuk,”katanya. 

Yuk, Liburan Bersama Erica Hestu Wahyuni

Erica Hestu Wahyuni tengah 'beraksi'
Senangnya, musim libur sekolah telah tiba.Tak ada lagi tugas sekolah yang membuat kepala pusing tujuh keliling. Tas sekolah berganti daypack dan koper. Wajah lelah dan suntuk berganti ceria penuh semangat bersiap hadapi petualangan baru. Ya, sekali lagi Erica Hestu Wahyuni berhasil menangkap luapan rasa gembira untuk dituangkan secara apik kedalam lukisan-lukisannya yang dipamerkan di Fang Gallery – Jakarta, sejak 3 Juni hingga 28 Juni 2013, bertajuk Summer Vacation.

Seperti dalam lukisan terbarunya berjudul Vacation in Prosperity, Erica seakan-akan mengajak kita untuk mengingat kembali keindahan dan ‘kemakmuran’ yang ditawarkan alam bukan sekedar menikmatinya. Aliran sungai yang dipenuhi berbagai jenis ikan, pohon-pohon yang berbuah ranum di musim panen yang hangat, hingga lautan yang kaya akan sumber daya alamnya. 

Lucunya, Erica tidak lupa menyisipkan simbol moderinitas didalam lukisan alamnya. Terlihat simbol Louis Vuitton (LV) disalah satu koper dalam lukisannya. “Lukisan ini sudah laku terjual dengan harga Rp78 juta,”kata Sin Yan, dari Fang Gallery Jakarta, Senin (3/6).

Tema liburan juga kental terasa dalam lukisan lainnya, seperti Blessing Time With Lovely Elephant. Ikon-ikon berbagai kota tujuan wisata tampak memenuhi kanvas berukuran 150 x 200 cm. Antara lain candi Borobudur di Magelang-Indonesia, menara Eifel di Paris-Perancis, piramida di Mesir, patung Liberty di New York dan berbagai ikon lainnya. 

Namun yang menarik adalah kehadiran si gajah besar berwarna merah muda di tengah-tengah lukisan. Erica seakan-akan berkata bahwa ia selalu merindukan si gajah meski sering berpetualang ke berbagai pelosok dunia. Gajah yang sama juga muncul di berbagai lukisan Erica. Ternyata si gajah ‘bona’ itu bukan sekedar karakter kesukaan Erica, ada kisah dibalik kehadirannya.

“Gajah itu adalah Ganica, gajah betina yang telah lama menjadi anak asuhnya. Ganica adalah beberapa bagian dalam hidup Erica yang sering menginspirasi proses pengkaryaannya,”kata Felicia Guo, pemilik Fang Gallery sekaligus kurator dalam pameran yang menampilkan lima karya lukis Erica.

Parade of Happy Harvesting, 2013, acrylic on canvas, 150 x 200 cm
Selain hobi melukis dan traveling, Erica tidak bisa menutupi kecintaannya pada dunia binatang. Hal itu, terlihat jelas dari hadirnya berbagai objek binatang di setiap lukisannya. Hasratnya pun terlihat nyata saat ia menerima tawaran Taman Safari Indonesia (TSI) untuk menjadi ibu asuh seekor gajah betina berumur 6 bulan, yang kemudian ia namai Ganica kependekan dari Gajah Seni Erica.

“Seminggu Erica berada di TSI untuk mengenal lebih dekat Ganica. Ia selalu bangun tiap pukul 7 pagi dan pergi menemui Ganica walaupun belum sempat mencuci mukanya. Berbagai aktivitas ia lakukan bersama Ganica, mulai dari menemaninya mandi di sungai sampai menemai bermain bersama gajah lain,”kisah Felicia.

Karya-karya lukis Erica tidak saja diakui di tanah air tapi mancanegara. Gaya lukisnya yang kekanak-kanakan, berwarna cerah, tak mengenal dimensi ruang, anatomi, volume dan perspektif sukses mencuri hati para kolektor. Erica kerap menjadikan berbagai fenomena, mimpi, imajinasi dan peristiwa yang ia temui kehidupan sehari-hari sebagai sumber inspirasi karyanya. Alhasil, begitu banyak ide berlalu-lalang di benaknya untuk segera dituangkan ke atas kanvas. “Erica termasuk seniman yang ‘rajin’ berkarya, ia seperti tidak pernah kehabisan ide,”ujar Sin Yan.

Bagi pelukis kelahiran Yogyakarta tahun 1971 ini, tidak sulit menuangkan berbagai pikiran dewasanya ke dalam lukisan bergaya sketsa anak-anak. Ia percaya bahwa setiap individu memiliki jiwa kanak-kanak yang tersembunyi dibalik tubuh dewasanya. Dan, semangat bermain atau mengolok-olok saat menciptakan karya menurutnya memiliki peranan penting. 

Namun, lukisan-lukisan Erica dapat dengan mudah dibedakan dari karya seniman-seniman bergaya serupa. Sebut saja, Eddie Hara dan Heri Dono yang namanya sudah mencuat sejak 1980-an. Jika lukisan kedua seniornya itu terasa canggih, bermuatan, dan tak jarang mengandung intelektualisme. Maka karya Erica lebih terasa ringan dan tanpa beban.

Jika dibandingkan dengan karya Paul Klee dan Faizal yang cenderung naïf namun tidak childish (kekanak-kanakan), jelas karya Erica memiliki rasa kekanak-kanakan yang menonjol. Begitu pula dengan karya pelukis kanak-kanak paling populer di dunia, Alexandra Nechita, yang justru mendewasa dalam aspek tematiknya.

Bakat seni Erica sudah terlihat sejak ia duduk di Taman Kanak-kanak. Tembok rumahnya adalah kanvasnya yang pertama. Catnya tak pernah putih mulus, selalu penuh coretan tangan Erica kecil. Erica terjun ke dunia seni rupa secara formal saat bergabung dalam Sanggar Katamsi di tahun 1981 - 1982. Di sanggar ini Erica banyak menimba ilmu dari Suharto PR dan Harry Wibowo.

Penulis dengan salah satu lukisan Erica
Vacation in Prosperity, 2003, acrylic on canvas, 150 x 200 cm
Usai lulus dari SMA Marsudi Luhur Yogyakarta (1989), Erica memutuskan untuk melanjutkan pendidikan seninya dengan masuk ke Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Selama menempuh pendidikan seni ia sempat meraih penghargaan untuk kategori sketsa terbaik dan lukisan cat air. Setelah itu Erica memutuskan untuk menuntut ilmu ke Institut Seni Surikov di Rusia dan meneruskan pengembaraannya hingga ke Cina. Sepertinya, tiga tahun menuntut ilmu di Rusia telah memberikan kenangan yang mendalam di benak Erica. Hal itu terlihat dari kemunculan objek wanita tradisional Rusia di berbagai lukisannya.

Sementara itu dimata sang kurator, Erica merupakan salah satu seniman wanita Indonesia yang terbukti mampu menjaga konsistensinya dalam berkarya. “Erika berhasil mengungkap pandangan dan imajinasinya dengan cara yang indah, kualitas narasinya pun menarik,”kata Felicia.


Meski karya yang ditampilkan sangat menarik bahkan ada yang terjual di hari pertama, sayangnya tidak didukung oleh kesiapan galeri yang matang. Salah satunya adalah ketersediaan informasi karya yang sangat minim. Ketidaksediaan katalog di hari pertama pameran tentu menyulitkan pengunjung untuk menyelami makna di balik karya-karya Erica. Hal yang sama juga ditemui saat pengunjung meretas informasi di situs Fang Gallery.

Baca juga artikel tentang Erica di Sarasvati.co.id