Sidik
menjelaskan, pameran ini merupakan bagian dari kerjasama Pemerintah RI-China
untuk mendongkrak minat para wisatawan dari negeri tirai bambu agar mau
berkunjung ke Indonesia. Sebelumnya, Sidik juga pernah beberapa kali menggelar
pameran tunggal di China. Ia bahkan mendapat penghargaan dari pemerintah
China, antara lain dari karya Bunga Phoenix (media cat hitam putih)
sebagai Lukisan China Mutu Terbaik dalam kompetisi seni lukis dan kaligrafi
Cina sedunia di Beijing (2001) dan di Nanjing (2002).
Setidaknya
ada dua alasan yang melatarbelakangi pelaksanaan pameran ini. Pertama, katanya,
China dan Indonesia memiliki banyak kesamaan. Keduanya sama-sama memiliki luas
territorial yang luas dengan jumlah penduduk yang besar. “Jika kedua negara ini
bersatu, tentu akan menjadi lebih baik lagi,” katanya. Kedua, “saat ini China
adalah negara yang memiliki uang yang cukup banyak. Sementara Indonesia kaya
akan kandungan mineralnya. Bayangkan jika dua sumber kekayaan ini menyatu”.
Salah satu
cara untuk mendekatkan kedua negara adidaya di Asia ini, menurut Sidik adalah
melalui seni budaya. “Seni dan budaya tidak memiliki batasan, tak ada
territorial, seni dan budaya adalah universal. Ini adalah kesempatan
tepat,”katanya.
Kali ini,
Sidik membagi koleksi pamerannya dalam tiga tema yakni Lansekap, Bunga dan
Satwa. Hal ini memang tidak jauh dari tema umum yang kerap digunakan Sidik
dalam setiap karyanya. Pria bernama asli Ma Yong Qiang ini, memang sering
menjadikan pemandangan alam sebagai objek dalam lukisannya.
Dua tema
lukisan, landsekap dan bunga, menurut Sidik tetap menjadi primadona dalam
pameran. Lukisan landsekap yang begitu khas ‘Sidik’ banyak menarik minat para
kolekter dari Indonesia. Sementara, lukisan bunga tentu saja menarik perhatian
para kolektor dari China.
“Lukisan
landsekap yang ditampilkan adalah lukisan khas Sidik. Tidak ada duanya di
dunia, tidak mudah untuk ditiru. Lukisan itu adalah ciri khas Sidik,”katanya.
Sementara,
satu lukisan dari tema satwa yang menjadi primadona dan dijagokan Sidik, adalah
lukisan kuda menembus awan. “Lukisan kuda ini sangat special. Ia tidak
dilengkapi dengan mulut. Badannya yang menembus kepulan awan, membuatnya
seakan-akan terbang menembus langit,”kata Sidik.
Bukan Sidik
jika lukisannya tidak menyiratkan sesuatu. Ia mengatakan, kuda lukisannya
adalah simbol keberhasilan. “Melalui lukisan ini, saya ingin mengatakan bahwa
sebagai manusia, dan negara, harus memiliki visi misi dan cita-cita setinggi
langit, hingga menembus awan,”katanya.
“Ilahi itu
menciptakan dunia tanpa batas dan kita diberi hak untuk menembusnya,
mempelajari dan mencari tahu tentangnya. Meskipun upaya kita tidak mungkin
melebihi kekuatan dan kemampuan Ilahi”.
Identitas
Diri
Pria
kelahiran Malang, Jawa Timur, 24 September 1937 ini belajar melukis secara
otodidak sejak berusia kanak kanak. Saat itu ia sudah jatuh cinta dengan lukisan
aliran Guo Hua yang menggunakan media kertas beras dan cat air. Lalu,
pada usia sembilan tahun, ia mulai belajar kaligrafi dari Nie Phing Chong dan
Xiau Pai Xin (alm), seorang kepala sekolah Tionghoa di Malang.
Sidik juga
belajar sastra dari ayahnya, Phe Hwie Kwan, yang mengenalkannya kepada
buku-buku karya pelukis maestro China, seperti Qi Pai She. Seiring waktu ia
mulai mengenal dan mengagumi karya-karya Handrio, H. Widayat, S. Sudjojono dan
Hendra Gunawan.
Di
Indonesia, jumlah seniman lukis beraliran Guo Hua seperti Sidik memang tidak
banyak. Menurutnya, seniman lukis Indonesia lebih suka mengikuti perkembangan
pasar. “Banyak yang bertanya mengapa saya tidak juga menggunakan kanvas
dan cat minyak seperti yang dilakukan kebanyakan pelukis di Indonesia. Jawab
saya: “Saya bisa kehilangan jati diri”,”katanya.
Ia juga
mengakui, melukis dengan menggunakan media kertas beras dan cat air jauh
memuaskan ketimbang menggunakan kanvas dan cat minyak. Tidak saja saat akan
melukis, namun setelah lukisan selesai kepuasannya juga terasa berbeda.
“Saya pernah
mencoba melukis di atas kanvas dan cat minyak. Namun, saya lebih senang di atas
kertas beras. Sudah jatuh cinta. Melukis di atas kertas beras ternyata juga
membuat cat lebih menyerap, mengikat. Lukisannya pun lebih taham lama. Lukisan
di atas kanvas dalam beberapa tahun saja bisa langsung rontok, rusak. Berbeda
dengan kertas beras yang lebih awet,”jabarnya.
Hingga tahun
ini, Sidik sudah ‘menelorkan’ 300 hingga 400 karya. Sebagian besar media kertas
beras ia peroleh langsung dari negeri tirai bambu. “Di Indonesia ada, tapi
kualitasnya jelek. Di Singapura harganya terlalu mahal,”katanya.
Sejak 1998,
Sidik telah menggelar lebih dari 20 pameran tunggal dan pameran bersama.
Seperti pameran di Galeri Nasional, Jakarta, Langgeng Gallery, Magelang, dan
Nadi Gallery, Jakarta. Dalam sejumlah kesempatan ia juga mulai mengadakan
pameran di Cina, seperti The China Millenium Monument, Beijing, National Art
Museum of China (NAMoC), Beijing, Liu Haisu Art Museum, Shanghai, Fuzhou
National Gallery, Fuzhou, dan Huafu Tiandi, Shanghai.
Ia juga
mendapat piagam penghormatan 10 Besar Seni Budayawan pada forum diskusi ilmiah
"Masyarakat Kecil dan Makmur di Beijing" pada 2006 dari Pusat Pemuda
Partai China, karena dianggap berhasil melakukan pembaharuan dalam seni budaya
Cina. Uniknya, Sidik adalah satu-satunya peserta dari luar Cina.
Atas
karyanya, Sidik juga diangkat sebagai peneliti pada Pusat Penelitian Seni
Republik Rakyat Tiongkok di Beijing dan sebagai pengajar tamu (guest professor)
di Eastern International Art College of Zhengzhou University of Light Industry
pada 2007.
“Cukup
bangga, karena mereka menghargai tinggi koleksi saya. Mereka mengatakan,
“mereka sangat senang dengan karya lukisan saya, berbeda dengan seniman-seniman
china yang terkesan manja karena mereka harus dibayar untuk membuat karya”.
“Sayangnya,
dukungan dan perhatian pemerintah China seperti itu tidak terjadi di Indonesia.
Seniman lukis Indonesia maupun seniman lainnya harus berjuang sendiri untuk
mengembangkan karya mereka. Padahal peran seni dan budaya dalam
perkembangan bangsa cukup penting. Seni dan budaya adalah identitas bangsa,
masa depan bangsa”.
(Diedit
untuk diterbitkan di Sarasvati.co.id, April 2013) Klik here
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar