Senin, 06 Mei 2013

Sidik Martowidjojo, Bunga Peoni Seni Lukis Indonesia




Sidik Martowidjojo

Alkisah, dimasa pemerintahan kaisar wanita pertama dan satu-satunya di China, Kaisar Wu Zetian, seluruh bunga di taman istana diperintahkan untuk mekar. Padahal, saat itu bukanlah musim semi, melainkan musim dingin. Tak mungkin bunga-bunga itu bermekaran.

Namun, karena perintah itu adalah perintah Kaisar, perpanjangan tangan tuhan, bagaimanapun caranya perintah itu harus dijalankan. Maka bermekaranlah semua bunga, kecuali satu, bunga peoni.

Bunga peoni menentang kehendak Kaisar Wu Zetian. Ia menolak untuk mekar di luar musimnya. Ia pun tetap bersiteguh dengan pendiriannya. Alhasil, Kaisar yang murka membuangnya ke daerah terpencil, keluar dari kenyamanan taman istana. Meski demikian, keindahan, keanggunan dan kepribadiannya yang kuat terlanjur melekat.

Bunga yang juga disebut dengan mutan inilah yang kemudian menjadi inspirasi Sidik Martowijojo dalam melukis bunga. Dengan berbagai warnanya yang cerah, ataupun gelap, Sidik mencoba menangkap kekuatan dan keanggunannya dalam teknik lukis yang cukup sulit.

“Bunga peoni adalah simbol dari kepribadian yang kuat. Sikap inilah yang harus dimiliki oleh setiap manusia, dan negara. Mereka harus memiliki identitas diri yang jelas, ideology yang kuat. Meski dari luar terlihat lemah dan lembut, namun kekuatannya tidak bisa ditandingi baik oleh seorang kaisar besar sekalipun,”kata Sidik saat diwawancara Sarasvati (12/4).

Sidik baru saja selesai menggelar pameran tunggalnya di gedung Arsip Nasional, jalan Gajahmada, Jakarta, 23-29 Maret 2013 lalu. Ada 76 lukisan bergaya Chinese painting (Guo Hua) yang dipamerkan dalam pameran bertajuk ‘Jembatan Emas Seni Rupa Indonesia-Cina’ itu. Namun, hanya sekitar 40 lukisan yang ditampilkan di gedung Arsip Nasional, karena keterbatasan tempat.

“Sebagian besar koleksi yang ditampilkan merupakan karya sehak tahun 2008,”katanya. Hanya sekitar 12-13 koleksi yang merupakan karya terbarunya tahun ini. “Persiapan pameran ini cukup singkat. Hanya dua hingga tiga bulan”.


Peoni Biru Menyimpan Rindu, 2012, chinese ink and watercolor on rice paper, 44 x 75 cm

Sidik menjelaskan, pameran ini merupakan bagian dari kerjasama Pemerintah RI-China untuk mendongkrak minat para wisatawan dari negeri tirai bambu agar mau berkunjung ke Indonesia. Sebelumnya, Sidik juga pernah beberapa kali menggelar pameran tunggal di China. Ia bahkan mendapat penghargaan dari pemerintah China, antara lain dari karya Bunga Phoenix (media cat hitam putih) sebagai Lukisan China Mutu Terbaik dalam kompetisi seni lukis dan kaligrafi Cina sedunia di Beijing (2001) dan di Nanjing (2002). 

Setidaknya ada dua alasan yang melatarbelakangi pelaksanaan pameran ini. Pertama, katanya, China dan Indonesia memiliki banyak kesamaan. Keduanya sama-sama memiliki luas territorial yang luas dengan jumlah penduduk yang besar. “Jika kedua negara ini bersatu, tentu akan menjadi lebih baik lagi,” katanya. Kedua, “saat ini China adalah negara yang memiliki uang yang cukup banyak. Sementara Indonesia kaya akan kandungan mineralnya. Bayangkan jika dua sumber kekayaan ini menyatu”.

Salah satu cara untuk mendekatkan kedua negara adidaya di Asia ini, menurut Sidik adalah melalui seni budaya. “Seni dan budaya tidak memiliki batasan, tak ada territorial, seni dan budaya adalah universal. Ini adalah kesempatan tepat,”katanya.

Kali ini, Sidik membagi koleksi pamerannya dalam tiga tema yakni Lansekap, Bunga dan Satwa. Hal ini memang tidak jauh dari tema umum yang kerap digunakan Sidik dalam setiap karyanya. Pria bernama asli Ma Yong Qiang ini, memang sering menjadikan pemandangan alam sebagai objek dalam lukisannya.

Dua tema lukisan, landsekap dan bunga, menurut Sidik tetap menjadi primadona dalam pameran. Lukisan landsekap yang begitu khas ‘Sidik’ banyak menarik minat para kolekter dari Indonesia. Sementara, lukisan bunga tentu saja menarik perhatian para kolektor dari China.

“Lukisan landsekap yang ditampilkan adalah lukisan khas Sidik. Tidak ada duanya di dunia, tidak mudah untuk ditiru. Lukisan itu adalah ciri khas Sidik,”katanya.

Sementara, satu lukisan dari tema satwa yang menjadi primadona dan dijagokan Sidik, adalah lukisan kuda menembus awan. “Lukisan kuda ini sangat special. Ia tidak dilengkapi dengan mulut. Badannya yang menembus kepulan awan, membuatnya seakan-akan terbang menembus langit,”kata Sidik.

Bukan Sidik jika lukisannya tidak menyiratkan sesuatu. Ia mengatakan, kuda lukisannya adalah simbol keberhasilan. “Melalui lukisan ini, saya ingin mengatakan bahwa sebagai manusia, dan negara, harus memiliki visi misi dan cita-cita setinggi langit, hingga menembus awan,”katanya.

“Ilahi itu menciptakan dunia tanpa batas dan kita diberi hak untuk menembusnya, mempelajari dan mencari tahu tentangnya. Meskipun upaya kita tidak mungkin melebihi kekuatan dan kemampuan Ilahi”.

Identitas Diri


Kuda Dewata Terbang ke Langit, 2010, chinese ink and watercolor on rice paper, 68 cm x  136 cm


Pria kelahiran Malang, Jawa Timur, 24 September 1937 ini belajar melukis secara otodidak sejak berusia kanak kanak. Saat itu ia sudah jatuh cinta dengan lukisan aliran Guo Hua yang menggunakan media kertas beras dan cat air. Lalu, pada usia sembilan tahun, ia mulai belajar kaligrafi dari Nie Phing Chong dan Xiau Pai Xin (alm), seorang kepala sekolah Tionghoa di Malang.

Sidik juga belajar sastra dari ayahnya, Phe Hwie Kwan, yang mengenalkannya kepada buku-buku karya pelukis maestro China, seperti Qi Pai She. Seiring waktu ia mulai mengenal dan mengagumi karya-karya Handrio, H. Widayat, S. Sudjojono dan Hendra Gunawan.

Di Indonesia, jumlah seniman lukis beraliran Guo Hua seperti Sidik memang tidak banyak. Menurutnya, seniman lukis Indonesia lebih suka mengikuti perkembangan pasar.  “Banyak yang bertanya mengapa saya tidak juga menggunakan kanvas dan cat minyak seperti yang dilakukan kebanyakan pelukis di Indonesia. Jawab saya: “Saya bisa kehilangan jati diri”,”katanya.

Ia juga mengakui, melukis dengan menggunakan media kertas beras dan cat air jauh memuaskan ketimbang menggunakan kanvas dan cat minyak.  Tidak saja saat akan melukis, namun setelah lukisan selesai kepuasannya juga terasa berbeda.

“Saya pernah mencoba melukis di atas kanvas dan cat minyak. Namun, saya lebih senang di atas kertas beras. Sudah jatuh cinta. Melukis di atas kertas beras ternyata juga membuat cat lebih menyerap, mengikat. Lukisannya pun lebih taham lama. Lukisan di atas kanvas dalam beberapa tahun saja bisa langsung rontok, rusak. Berbeda dengan kertas beras yang lebih awet,”jabarnya.

Hingga tahun ini, Sidik sudah ‘menelorkan’ 300 hingga 400 karya. Sebagian besar media kertas beras ia peroleh langsung dari negeri tirai bambu. “Di Indonesia ada, tapi kualitasnya jelek. Di Singapura harganya terlalu mahal,”katanya.

Sejak 1998, Sidik telah menggelar lebih dari 20 pameran tunggal dan pameran bersama. Seperti pameran di Galeri Nasional, Jakarta, Langgeng Gallery, Magelang, dan Nadi Gallery, Jakarta. Dalam sejumlah kesempatan ia juga mulai mengadakan pameran di Cina, seperti The China Millenium Monument, Beijing, National Art Museum of China (NAMoC), Beijing, Liu Haisu Art Museum, Shanghai, Fuzhou National Gallery, Fuzhou, dan Huafu Tiandi, Shanghai.

Ia juga mendapat piagam penghormatan 10 Besar Seni Budayawan pada forum diskusi ilmiah "Masyarakat Kecil dan Makmur di Beijing" pada 2006 dari Pusat Pemuda Partai China, karena dianggap berhasil melakukan pembaharuan dalam seni budaya Cina. Uniknya, Sidik adalah satu-satunya peserta dari luar Cina. 

Atas karyanya, Sidik juga diangkat sebagai peneliti pada Pusat Penelitian Seni Republik Rakyat Tiongkok di Beijing dan sebagai pengajar tamu (guest professor) di Eastern International Art College of Zhengzhou University of Light Industry pada 2007.

“Cukup bangga, karena mereka menghargai tinggi koleksi saya. Mereka mengatakan, “mereka sangat senang dengan karya lukisan saya, berbeda dengan seniman-seniman china yang terkesan manja karena mereka harus dibayar untuk membuat karya”.

“Sayangnya, dukungan dan perhatian pemerintah China seperti itu tidak terjadi di Indonesia. Seniman lukis Indonesia maupun seniman lainnya harus berjuang sendiri untuk mengembangkan karya mereka. Padahal peran seni dan budaya dalam perkembangan bangsa cukup penting. Seni dan budaya adalah identitas bangsa, masa depan bangsa”. 

(Diedit untuk diterbitkan di Sarasvati.co.id, April 2013) Klik here



Tidak ada komentar:

Posting Komentar