Jumat, 24 Mei 2013

I Bagus Putu Purwa: Menangkap Emosi Dalam Warna


Ida Bagus Putu Purwa (ist)


Tubuh-tubuh kekar dengan lekukan otot yang tampak nyata, saling bersinggungan tak teratur di dalam satu kanvas dengan berbagai posisi. Ada yang duduk meringkuk seakan-akan merasa takut. Ada pula yang menungging, jongkok, berbaring, dan telentang sembari meregangkan tubuh bak pertunjukan tari kontemporer.

Kemunculan figur-figur itu kian ramai dengan adanya warna-warna terang nan kontras di bagian latar. Sejenak, warna-warna itu berhasil mengalihkan focus pandangan pengunjung. Ternyata itulah yang diinginkan sang pelukis yang menjadikan warna latar sebagai fokus utama bukan figur-figur kekar yang dijadikan sebagai ‘figuran’. Bahkan, di beberapa lukisan warna-warna mencolok itu dipilih sebagai tema.

Ida Bagus Putu Purwa, Moving, 2013, print on acrylic mica, variable size

Lukisan-lukisan tersebut adalah karya terbaru dari pelukis berbakat asal Bali, I Bagus Putu Purwa, yang ditampilkan dalam pameran solo keduanya di galeri dia.lo.gue artspace, Kemang-Jakarta. Ada 12 karya terbaru yang ditampilkan dalam pameran yang berlangsung sejak 18 April hingga 12 Mei itu. Adapun tajuknya adalah ‘Imba Tubuh’ (“Illustrating the Human Body”) yang dalam bahasa Kawi (Jawa Kuno) berarti sosok atau bentuk.

“Melalui karyanya kali ini, Purwa ‘mengimba’ tubuh dalam berbagai gerakan (yang terbekukan), posisi, ataupun agem – istilah yang digunakan untuk menyebut gerakan dalam tarian Bali. Dimana kesemuanya dikombinasikan dengan bidang gambarnya,”kata Penulis seni - Vidyasuri Utami - yang berkesempatan menuliskan hasil ‘pembacannya’ pada karya-karya terbaru Purwa.

Saat memasuki ruangan galeri, pandangan pengunjung langsung disambut oleh lukisan berukuran 200x285 cm, berjudul ‘Under the Full Moon’. Bagi mereka yang mengenal karya-karya Purwa sebelumnya pasti langsung menyadari perbedaan yang ada. Purwa tak lagi menampilkan satu sosok figur, sebaliknya menampilkan belasan figur dengan berbagai pose. 




Ida Bagus Putu Purwa, Under the Full Moon, 2012, oil & charcoal on canvas, 200 x 285 cm

Figur-figur itu juga tampak diam, tak seperti karya-karya Purwa lainnya yang tampak bergerak seperti tengah terbang atau melompat tinggi. Latar yang sebelumnya hanya menjadi bagian dari natar (bidang gambar), kini hidup dengan munculnya warna-warna kontras.

Utami juga menyampaikan keterkejutannya dalam pengantar di katalog ‘Imba Tubuh’. “Saya sedikit kaget – dan tertarik (intrigued) – saat saya melihat latar di karya-karya terbaru Purwa. Latar atau ruang gambar cenderung absen ataupun berpadu dengan natarnya. Ini adalah sebuah perkembangan formalistic visual yang cukup menarik,”tulisnya. 

Menurut Utami, hal menarik dari latar dalam karya Purwa adalah keselarasan komposisi antara figur-figur dengan natar.  “Secara sederhana, kita bisa merasakan munculnya ruang dalam peletakan subjek-subjek di karya Purwa. Tapi saat kita memasukkan elemen persepektif, ruang tersebut menjadi luluh karena objek yang muncul tak Nampak memiliki perspektif melainkan flat/datar,”tulisnya.

Melalui karya-karyanya ini, sepertinya Purwa ingin menunjukkan pencapaian barunya dalam mengeksplorasi ide dan imaginasinya. Detail-detail tubuh hadir lebih kuat dari sebelumnya. Meski terkesan ia mengesampingkan gerak yang selama ini menjadi ciri khas dalam karyanya. John Cage, komponis sohor asal Amerika pernah mengatakan, “Tindakan eksperimental adalah salah satu hasil yang tidak terduga”. Itu pula yang diharapkan Purwa yang mengaku mulai bosan dengan gaya lamanya.

“Eksplorasi tubuh dalam karya-karya sebelumnya belum memuaskan saya sebagai pribadi. Saya mulai jenuh dengan gaya melukis yang lama. Saya ingin mengeksplorasi hal baru, salah satunya dengan warna-warna dan medium lukis yang berbeda,”kata penggemar motor tua ini. 



Ida Bagus Putu Purwa, In yellow, 2013, oil & charcoal on canvas, 150 x 130 cm

Dalam beberapa lukisan, warna biru dan kuning memang sangat menonjol ketimbang figur-figur yang menampilkan berbagai pose. Seperti yang terlihat dalam lukisan berjudul In Yellow, In Blue, dan Golden Moon. Purwa juga tidak khawatir figur dalam lukisannya akhirnya terkaburkan oleh warna latar, karena memang bukan figur yang menjadi inti dalam lukisannya.

“Warna-warna itu bukan hanya latar, justru menjadi tema dalam karya itu. Melalui warna saya ingin menunjukkan perasaan saya. Warna biru seperti yang muncul dalam ‘Under the Full Moon’ menunjukkan perasaan saya yang tengah galau, bingung dan depresi. Sementara warna kuning dan merah yang muncul dalam ‘Golden Moon’ identik dengan harapan, semangat, dan antusias,”kata Purwa yang lahir di Sanur, Bali, pada 1976.

Meski hanya sebagai latar, Purwa tetap memperkuat kehadiran figure-figur itu dengan menampilkan ekspresi dan gerak tubuh yang sangat mudah dibaca oleh mereka yang melihat. “Ekspresi dan emosi dari masing-masing figur sangat penting. Meski dalam posisi tertegun, termenung dan diam, tetap ada emosi didalamnya. Tidak saja figur bergerak yang bisa menunjukkan emosi, seperti yang selama ini saya tampilkan,”katanya. 


Ida Bagus Putu Purwa, 3 Dunia, 2013, oil & charcoal on canvas, 120 x 300 cm

Dalam beberapa lukisan, Purwa juga memunculkan lingkaran-lingkaran tegas untuk memperkuat makna. Seperti pada lukisan berjudul ‘3 Dunia’, Purwa menggunakan lingkaran sebagai simbol ‘batas’ tiga dunia yang terinsipirasi dari kepercayaan agama Hindu dan kebudayaan masyarakat Bali tentang hubungan dunia bawah (gaib), dunia manusia, dan dunia atas atau dunia para dewa.

Namun sayangnya, kemunculan lingkaran-lingkaran yang seakan-akan dibentuk dengan jangka itu ikut ‘membatasi’ pandangan pengunjung atas karyanya. Sehingga tanpa disadari menghilangkan makna kebebasan yang selama ini diagung-agungkan Purwa dalam setiap karyanya.

‘Pembaruan’ lainnya dalam karya Purwa kali ini, adalah penggunaan media kertas sebagai pengganti kanvas. Meski dalam seni rupa klasik medium kertas bukanlah hal baru, namun saat ini keberadaannya dipandang sebelah mata oleh seniman-seniman kontemporer. “Saya mengeksplorasi kertas sebagai media lukis sejak awal tahun 2013, setelah ditantang galeri Berlin Avantgarde, Jerman, untuk menampilkan lukisan diatas kertas. Ini hal baru buat saya, sebelumnya tidak pernah menggunakan kertas. Tapi saya cukup puas dengan hasilnya,”kata Purwa.

Dalam pameran duet bersama seniman Belanda - Marianne van Heeswijk, di Berlin Avantgarde, Purwa menampilkan 22 karya lukis dengan kertas sebagai media. Tak jauh berbeda dengan karya yang ditampilkan di dia.lo.gue artspace, figur-figur lelaki dengan tubuh berotot tetap menjadi pilihannya untuk ‘berbicara’.  

“Dari awal saya memang tertarik menggunakan bahasa tubuh sebagai karya. Bagi saya, bahasa tubuh lebih memiliki makna dibandingkan kata-kata. Bahasa tubuh tidak dapat berbohong,”katanya. “Dan, bahasa tubuh sangat tepat menjadi salah satu cara untuk mengekspresikan diri. Itulah mengapa saya menonjolkan tubuh laki-laki untuk mengekspresikan perasaan, emosi dan imaginasi saya”.

Sedikit perbedaan muncul pada figur-figur yang dilukiskan. Mereka tidak lagi didominasi warna kelabu seperti selama ini yang dilakukan Purwa. Warna merah, hijau dan biru mendominasi dalam beberapa lukisan. Ada yang siluet tubuhnya berwarna merah bata, sementara lukisan lain berwarna biru. Purwa juga menambahkan ornamen-ornamen lain seperti kipas bali di dalam lukisan, hal yang selama ini ia tinggalkan.

“Melihat sesuatu yang sama, lama-lama jenuh juga. Saya lalu mencobanya dengan menambahkan warna dan ornament-ornamen tambahan lainnya,”kata Purwa yang lulus dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia, di Bali, pada 1998.

Saat mengeksplorasi media kertas, Purwa mengaku mendapatkan sejumlah hambatan.  Tidak saja karena ukurannya yang jauh lebih kecil, tetapi juga karena sifat kertas yang berbeda dengan kanvas. Teknik lukis yang selama ini ia gunakan tidak semerta-merta berhasil saat digunakan ke media kertas. Alhasil puluhan jenis kertas dengan goresan kuasnya berakhir di tong sampah.

“Media cat minyak dan arang saat dipindahkan ke media kertas ternyata memberikan hasil yang sangat berbeda. Begitu pula dengan teknik dusel (usapan) yang selama ini saya gunakan, ternyata tidak mudah diterapkan di kertas,”katanya.

Utami menggambarkan karya-karya lukis Purwa di media kertas “tampil lebih halus dan lebih detail” ketimbang karyanya dengan kanvas. “Kita sering luput untuk mengapresiasi sebuah karya berukuran kecil. Padahal proses penciptaan dan upaya yang dibutuhkan sama besarnya dengan karya-karya berukuran besar,”katanya. “Natar yang kecil memberikan tantangan tersendiri bagi pelukit untuk menampilkan objek/subjeknya dengan sempurna. Dan, Purwa mampu melakukannya dengan baik’. (Diedit dan diterbitkan di Sarasvati.co.id)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar