Ida Bagus Putu Purwa (ist)
Tubuh-tubuh kekar dengan lekukan otot yang tampak nyata,
saling bersinggungan tak teratur di dalam satu kanvas dengan berbagai posisi.
Ada yang duduk meringkuk seakan-akan merasa takut. Ada pula yang menungging,
jongkok, berbaring, dan telentang sembari meregangkan tubuh bak pertunjukan
tari kontemporer.
Kemunculan figur-figur itu kian ramai dengan adanya
warna-warna terang nan kontras di bagian latar. Sejenak, warna-warna itu
berhasil mengalihkan focus pandangan pengunjung. Ternyata itulah yang
diinginkan sang pelukis yang menjadikan warna latar sebagai fokus utama bukan
figur-figur kekar yang dijadikan sebagai ‘figuran’. Bahkan, di beberapa lukisan
warna-warna mencolok itu dipilih sebagai tema.
Ida Bagus Putu Purwa, Moving, 2013, print on acrylic
mica, variable size
Lukisan-lukisan tersebut adalah karya terbaru dari pelukis
berbakat asal Bali, I Bagus Putu Purwa, yang ditampilkan dalam pameran solo
keduanya di galeri dia.lo.gue artspace, Kemang-Jakarta. Ada 12 karya terbaru
yang ditampilkan dalam pameran yang berlangsung sejak 18 April hingga 12 Mei
itu. Adapun tajuknya adalah ‘Imba Tubuh’ (“Illustrating the Human Body”) yang
dalam bahasa Kawi (Jawa Kuno) berarti sosok atau bentuk.
“Melalui karyanya kali ini, Purwa ‘mengimba’ tubuh dalam
berbagai gerakan (yang terbekukan), posisi, ataupun agem – istilah yang
digunakan untuk menyebut gerakan dalam tarian Bali. Dimana kesemuanya
dikombinasikan dengan bidang gambarnya,”kata Penulis seni - Vidyasuri Utami -
yang berkesempatan menuliskan hasil ‘pembacannya’ pada karya-karya terbaru
Purwa.
Saat memasuki ruangan galeri, pandangan pengunjung langsung
disambut oleh lukisan berukuran 200x285 cm, berjudul ‘Under the Full Moon’.
Bagi mereka yang mengenal karya-karya Purwa sebelumnya pasti langsung menyadari
perbedaan yang ada. Purwa tak lagi menampilkan satu sosok figur, sebaliknya
menampilkan belasan figur dengan berbagai pose.
Ida Bagus Putu Purwa, Under the Full Moon, 2012, oil
& charcoal on canvas, 200 x 285 cm
Figur-figur itu juga tampak diam, tak seperti karya-karya
Purwa lainnya yang tampak bergerak seperti tengah terbang atau melompat tinggi.
Latar yang sebelumnya hanya menjadi bagian dari natar (bidang gambar), kini
hidup dengan munculnya warna-warna kontras.
Utami juga menyampaikan keterkejutannya dalam pengantar di
katalog ‘Imba Tubuh’. “Saya sedikit kaget – dan tertarik (intrigued) – saat
saya melihat latar di karya-karya terbaru Purwa. Latar atau ruang gambar
cenderung absen ataupun berpadu dengan natarnya. Ini adalah sebuah perkembangan
formalistic visual yang cukup menarik,”tulisnya.
Menurut Utami, hal menarik dari latar dalam karya Purwa
adalah keselarasan komposisi antara figur-figur dengan natar. “Secara
sederhana, kita bisa merasakan munculnya ruang dalam peletakan subjek-subjek di
karya Purwa. Tapi saat kita memasukkan elemen persepektif, ruang tersebut
menjadi luluh karena objek yang muncul tak Nampak memiliki perspektif melainkan
flat/datar,”tulisnya.
Melalui karya-karyanya ini, sepertinya Purwa ingin
menunjukkan pencapaian barunya dalam mengeksplorasi ide dan imaginasinya.
Detail-detail tubuh hadir lebih kuat dari sebelumnya. Meski terkesan ia
mengesampingkan gerak yang selama ini menjadi ciri khas dalam karyanya. John
Cage, komponis sohor asal Amerika pernah mengatakan, “Tindakan eksperimental
adalah salah satu hasil yang tidak terduga”. Itu pula yang diharapkan Purwa
yang mengaku mulai bosan dengan gaya lamanya.
“Eksplorasi tubuh dalam karya-karya sebelumnya belum
memuaskan saya sebagai pribadi. Saya mulai jenuh dengan gaya melukis yang lama.
Saya ingin mengeksplorasi hal baru, salah satunya dengan warna-warna dan medium
lukis yang berbeda,”kata penggemar motor tua ini.
Ida Bagus Putu Purwa, In yellow, 2013, oil &
charcoal on canvas, 150 x 130 cm
Dalam beberapa lukisan, warna biru dan kuning memang sangat
menonjol ketimbang figur-figur yang menampilkan berbagai pose. Seperti yang
terlihat dalam lukisan berjudul In Yellow, In Blue, dan Golden
Moon. Purwa juga tidak khawatir figur dalam lukisannya akhirnya terkaburkan
oleh warna latar, karena memang bukan figur yang menjadi inti dalam lukisannya.
“Warna-warna itu bukan hanya latar, justru menjadi tema
dalam karya itu. Melalui warna saya ingin menunjukkan perasaan saya. Warna biru
seperti yang muncul dalam ‘Under the Full Moon’ menunjukkan perasaan saya yang
tengah galau, bingung dan depresi. Sementara warna kuning dan merah yang
muncul dalam ‘Golden Moon’ identik dengan harapan, semangat, dan antusias,”kata
Purwa yang lahir di Sanur, Bali, pada 1976.
Meski hanya sebagai latar, Purwa tetap memperkuat kehadiran
figure-figur itu dengan menampilkan ekspresi dan gerak tubuh yang sangat mudah
dibaca oleh mereka yang melihat. “Ekspresi dan emosi dari masing-masing figur
sangat penting. Meski dalam posisi tertegun, termenung dan diam, tetap ada
emosi didalamnya. Tidak saja figur bergerak yang bisa menunjukkan emosi,
seperti yang selama ini saya tampilkan,”katanya.
Ida Bagus Putu Purwa, 3 Dunia, 2013, oil & charcoal
on canvas, 120 x 300 cm
Dalam beberapa lukisan, Purwa juga memunculkan
lingkaran-lingkaran tegas untuk memperkuat makna. Seperti pada lukisan berjudul
‘3 Dunia’, Purwa menggunakan lingkaran sebagai simbol ‘batas’ tiga dunia yang
terinsipirasi dari kepercayaan agama Hindu dan kebudayaan masyarakat Bali
tentang hubungan dunia bawah (gaib), dunia manusia, dan dunia atas atau dunia
para dewa.
Namun sayangnya, kemunculan lingkaran-lingkaran yang
seakan-akan dibentuk dengan jangka itu ikut ‘membatasi’ pandangan pengunjung
atas karyanya. Sehingga tanpa disadari menghilangkan makna kebebasan yang
selama ini diagung-agungkan Purwa dalam setiap karyanya.
‘Pembaruan’ lainnya dalam karya Purwa kali ini, adalah
penggunaan media kertas sebagai pengganti kanvas. Meski dalam seni rupa klasik
medium kertas bukanlah hal baru, namun saat ini keberadaannya dipandang sebelah
mata oleh seniman-seniman kontemporer. “Saya mengeksplorasi kertas sebagai
media lukis sejak awal tahun 2013, setelah ditantang galeri Berlin Avantgarde,
Jerman, untuk menampilkan lukisan diatas kertas. Ini hal baru buat saya,
sebelumnya tidak pernah menggunakan kertas. Tapi saya cukup puas dengan
hasilnya,”kata Purwa.
Dalam pameran duet bersama seniman Belanda - Marianne
van Heeswijk, di Berlin Avantgarde, Purwa menampilkan 22 karya lukis dengan
kertas sebagai media. Tak jauh berbeda dengan karya yang ditampilkan di
dia.lo.gue artspace, figur-figur lelaki dengan tubuh berotot tetap menjadi
pilihannya untuk ‘berbicara’.
“Dari awal saya memang tertarik menggunakan bahasa tubuh
sebagai karya. Bagi saya, bahasa tubuh lebih memiliki makna dibandingkan
kata-kata. Bahasa tubuh tidak dapat berbohong,”katanya. “Dan, bahasa tubuh
sangat tepat menjadi salah satu cara untuk mengekspresikan diri. Itulah mengapa
saya menonjolkan tubuh laki-laki untuk mengekspresikan perasaan, emosi dan
imaginasi saya”.
Sedikit perbedaan muncul pada figur-figur yang dilukiskan.
Mereka tidak lagi didominasi warna kelabu seperti selama ini yang dilakukan
Purwa. Warna merah, hijau dan biru mendominasi dalam beberapa lukisan. Ada yang
siluet tubuhnya berwarna merah bata, sementara lukisan lain berwarna biru.
Purwa juga menambahkan ornamen-ornamen lain seperti kipas bali di dalam
lukisan, hal yang selama ini ia tinggalkan.
“Melihat sesuatu yang sama, lama-lama jenuh juga. Saya lalu
mencobanya dengan menambahkan warna dan ornament-ornamen tambahan lainnya,”kata
Purwa yang lulus dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia, di Bali, pada 1998.
Saat mengeksplorasi media kertas, Purwa mengaku mendapatkan
sejumlah hambatan. Tidak saja karena ukurannya yang jauh lebih kecil,
tetapi juga karena sifat kertas yang berbeda dengan kanvas. Teknik lukis yang
selama ini ia gunakan tidak semerta-merta berhasil saat digunakan ke media
kertas. Alhasil puluhan jenis kertas dengan goresan kuasnya berakhir di tong
sampah.
“Media cat minyak dan arang saat dipindahkan ke media kertas
ternyata memberikan hasil yang sangat berbeda. Begitu pula dengan teknik dusel
(usapan) yang selama ini saya gunakan, ternyata tidak mudah diterapkan di
kertas,”katanya.
Utami menggambarkan karya-karya lukis Purwa di media kertas
“tampil lebih halus dan lebih detail” ketimbang karyanya dengan kanvas. “Kita
sering luput untuk mengapresiasi sebuah karya berukuran kecil. Padahal proses
penciptaan dan upaya yang dibutuhkan sama besarnya dengan karya-karya berukuran
besar,”katanya. “Natar yang kecil memberikan tantangan tersendiri bagi pelukit
untuk menampilkan objek/subjeknya dengan sempurna. Dan, Purwa mampu
melakukannya dengan baik’. (Diedit dan diterbitkan di Sarasvati.co.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar