Para seniman Jeju-Bali yang terlibat dalam pameran di Galeri Nasional (maaf blur ya, kamera lagi tak beres) |
Delapan belas seniman dari pulau Bali dan Jeju – masing-masing diwakili sembilan seniman – mengadakan pameran bersama di Galeri Nasional Indonesia (GNI) Jakarta, dari 29 Mei-9 Juni 2013. Melalui pameran yang mengangkat tema Determination of Two Islands ini, para penikmat seni diajak untuk mengenal wajah baru seni rupa dari kedua pulau yang lebih dikenal sebagai pusat kesenian tradisional di negaranya masing-masing.
Perkembangan seni rupa di dua pulau yang lebih dikenal sebagai tujuan
wisata – Bali dan Jeju –tumbuh pesat dalam beberapa tahun terakhir.
Karya-karyanya tidak lagi terpaku pada unsur religi, tradisi, dan klasik, namun
jauh lebih inovatif dan modern. Melalui pameran ini, para seniman berupaya memberikan
gambaran yang lebih luas tentang perkembangan seni rupa Bali dan Jeju saat ini,
sembari menyisipkan narasi tentang sejarah kedua pulau. Namun pameran ini juga
memicu pertanyaan, apakah perkembangan senirupa kontemporer di kedua pulau dapat
bersinergi dengan senirupa klasik yang sudah lama mengakar? Akankah
perkembangan ini akan mengubah identitas pulau sebagai pusat kebudayaan di
masing-masing negara?
karya Mangu Putra, Dia Menatapku #4, 2013, oil and pastel on linen, 160 x 210 cm (pic. suci) |
Delapan tahun lalu, lima seniman kontemporer asal pulau Jeju
– Korea Selatan dan lima seniman kontemporer Bali mengadakan pameran seni
bersama di Galeri Seni Tonyraka, Ubud-Bali. Pameran tersebut mengawali kedekatan
hubungan antar seniman dari dua pulau yang lebih dikenal sebagai tujuan wisata
terbaik di Asia itu. Tiga bulan usai pameran perdana di Bali, giliran seniman
kontemporer Bali berkunjung ke Pulau Jeju-Korea Selatan dan menggelar pameran bersama.
Pada 29 Mei 2013, seniman Bali-Jeju kembali mengadakan
pameran bersama untuk yang ketiga kalinya. Pameran tersebut diadakan di Galeri
Nasional Indonesia (GNI) – Jakarta dengan mengangkat tajuk Determinationof Two
Island: Jeju-Bali. Pameran yang diadakan atas kerjasama Tonyraka Art Gallery
dan Vaneasa Artlink Jakarta ini, berlangsung hingga 9 Juni 2013. Jumlah seniman
yang terlibat lebih banyak dibandingkan dua pameran sebelumnya, mencapai 18
orang masing-masing sembilan seniman Bali dan sembilan seniman Jeju.
Mewakili Bali: seniman Mangun Putra, Srihadi Soedarsono,
Chusin Setiadikara, Nyoman Erawan, Made Wianta, Nyoman Nuarta, Wayan Sujana
Suklu, Teja Astawa, dan Tjandra Kirana. Sementara, seniman Jeju diwakili oleh
Joe Jae Hwan, Jung Yong Sung, Kang Yo Bae, Koh Gill Chun, Lee Jong Gu, Lee
Myoung Bok, Shin Hak Chull, Son Jang Sup, dan Yang Mi Kyeong.
Pendiri TonyrakaArt Gallery sekaligus sponsor ketiga pameran
Bali-Jeju – Tony Hartawan mengatakan, pameran ini tidak
saja bertujuan untuk mempromosikan karya-karya seni kontemporer dari
masing-masing pulau tetapi sekaligus menjadi media untuk mempererat hubungan
antar seniman kedua pulau yang diklaim memiliki banyak kesamaan. Menurut Tony, kedua
pulau tidak saja memiliki status yang sama sebagai pulau wisata, geografisnya
sebagai pulau kecil yang jauh dari pembangunan daratan utama (Jawa dan Seoul), tetapi
juga memiliki latar perkembangan kebudayaan dan kesenian yang sama.
“Akar kebudayaan tradisional di Bali maupun Jeju, sama-sama kuat.
Seluruh aktivitas penduduknya masih dipengaruhi oleh nilai-nilai spiritual dan
tradisi kebudayaan yang masih menjunjung tinggi harmoni antara manusia dan alam,”kata
Tony seperti yang tertulis di dalam pengantar katalog.
Karya-karya yang ditampilkan dalam pameran tersebut cukup jauh
dari kesan klasik yang sudah menjadi ciri khas masing-masing pulau jauh
sebelumnya. Tidak lagi ada karya seni bertutur khas Bali. Kegiatan keagamaan, tradisi
dan objek alam tidak lagi menjadi tema, sebaliknya didominasi oleh sejarah
lampau kedua pulau. “Karya yang ditampilkan
murni lahir dari imaginasi kreatif sang seniman. Dipengaruhi berbagai faktor
yang memasuki ruang budaya mereka dan secara kontinyu mencampur adukkan
berbagai unsur di dalamnya,”kata Tony.
Seperti karya Mangun Putra berjudul Dia Menatapku #4, yang mengangkat
isu marginal dan runtuhnya tatanan kepedulian dan kepekaan sosial di tengah
masyarakat. Bagaikan foto, Mangun melukiskan sosok pria berperawakan kurus dengan
tubuh yang penuh luka menoleh ke pengunjung yang memperhatikannya. Namun yang
menarik perhatian pengunjung adalah tatapan matanya yang menyiratkan
keputusasaan. “Ia mempertanyakan kepedulian sosial saat ini. Jelas terlihat
dari ekspresi, bahasa tubuh, dan catatan-catatan yang bisa dibaca”.
karya Lee jong Gu, Water-Happiness, 2002. acrilyc on rice paper sack, 160 x 158 cm |
Sementara sang
kurator, Jim Supangkat mengatakan sosok
pria di dalam lukisan itu merupakan salah satu anggota Partai Komunis Indonesia
(PKI) yang menjadi korban pembantaian besar-besaran di Bali sekitar tahun
1965-1966. “Itu adalah tatapan terakhirnya sebelum memasuki lapangan
eksekusi,”kata Jim kepada Sarasvati.
Adapula karya Nyoman Herawan berjudul Seri Ritual
Kontemporer, yang menampilkan sosok pria – yang lebih mirip dirinya sendiri –
sedang duduk dengan pose bagaikan sang Budha yang tengah bertapa diatas
hamburger. Pada latar ia menambahkan berbagai logo makanan fast food ternama
yang membanjiri Indonesia. Lagi-lagi, Nyoman menyajikan karyanya yang menggali
kebudayaan Bali melalui ikon-ikon ritual Bali yang berdialog dengan realitas
modern.
Di sudut lain ruangan, seniman asal Korea
Selatan – Joo Jae Whan – menampilkan karya fotografi yang menggambarkan kondisi
sebuah kota paska-perang. Melalui karya berjudul Dizziness ini, Joo Jae
menunjukkan bahwa identitas Korea Selatan saat ini tidak bisa terlepas dari
kisah perperangan yang melibatkan Korea Utara dan Amerika pada 1950-1953. Secara
apik ia menggambarkan aksi protes seorang biksu yang tengah menjalani ritual
bakar diri disaksikan oleh sosok yang mirip Budha dihadapannya tanpa berbuat
apa-apa. Sosok ini kemudian berganti menjadi deretan tentara dalam serial
lukisan yang berbeda.
Tidak ada proses kurasi yang cukup ‘serius’ dalam pameran ini. Seperti
yang disampaikan Jim, pameran ini tidak memiliki sebuah tema khusus untuk
diangkat. Tidak ada benang merah yang menyatukan cerita masing-masing karya
yang ditampilkan. Jim sepenuhnya mempercayakan para seniman untuk menampilkan
karya yang bisa mewakili dirinya dan negaranya sendiri. “Seniman Korea sangat
jujur pada dirinya sendiri. Mereka tidak sibuk mencocokan diri dengan contemporary
art. Sehingga karya-karya yang ditampilkan tidak terlalu spektakuler,”kata Jim
kepada Sarasvati.
Jim juga mengaku terkejut dengan karya seni kontemporer yang
ditampilkan para seniman Jeju. Menurutnya ide kreatif yang dipilih sangat original
dan tidak menghilangkan semangat kedaerahannya. Berbeda dengan karya
Kontemporer yang berkembang di Amerika ataupun Eropa, dimana kontemporernya
lebih menonjolkan lifestyle. Begitu juga dengan karya seniman Bali yang lebih
memilih tema dekat dengan kehidupan masyarakatnya. Tema yang diambil, menurut
Jim, lebih konservatif dibandingkan karya-karya kontemporari yang lifestyle dan
urban.
“Seakan-akan ada wilayah periferi untuk karya kontemporer di luar Amerika
dan Eropa. Dalam perkembangannya wilayah ini kerap tidak diperhatikan. Tapi kontemporari
Jeju tidak memaksakan diri untuk mengikuti gaya pendahulunya dan lebih menampilkan
kekhasannya sendiri,”kata Jim.
Karya Kang Yo Bae dengan judul the Sky of the North West (2009)
dan the Waterfalls (2007), menurut Jim dengan jelas menunjukkan keterikatannya
pada landscape. “Landscape Kang Yo Bae lebih ke landscape Jen, bukan seperti
yang berkembang di Eropa,”kata Jim. Karya lukisan menarik lainnya ditunjukkan Jung
Yong Sung dalam tiga seri lukisannya berjudul ‘The Face’. Hanya dengan menggunakan charcoal dan debu,
Jung Yong melukiskan wajah-wajah dengan penggambaran yang sangat kabur. “Namun
kita tetap bisa melihat spiritnya,”kata Jim.
Adapula ide yang menurut Jim “cukup aneh untuk sebuah seni
contemporary”, seperti karya Lee jong Gu berjudul Water – Happiness (2002) dan Water
– Life (2002). Selintas tidak ada yang spektakuler dari lukisan mangkuk berisikan
air bening itu. “Kanvasnya adalah kantung beras (rice paper sack) yang sudah
diperlakukan khusus,”kata Jim. Ide menggunakan mangkuk minum sebagai objek
lukisan, menurutnya juga menandakan bahwa seniman-seniman Jeju tidak pernah
bisa melepaskan identitasnya sebagai seorang rakyat biasa, petani, dan nelayan.
Sama halnya seperti yang ditunjukkan Koh Gil Chun dalam
karya lukisannya Sleeping Chetzemoka (2009), yang menampilkan perahu nelayan sebagai
objek. “Karya itu adalah wujud simpatinya pada nelayan,”kata Jim. Namun keunikan
dari karyanya adalah metode lukis yang digunakan. Koh Gil menggukan metode lama
‘menjiplak’ yakni dengan menempelkan kertas kanvas khusus yang telah diberi
warna hitam. Kertas yang sudah ditempelkan di seluruh bagian tubuh kapal, kemudian
diarsir menggunakan pots lot khusus sehingga memunculkan bayangan perahu dengan
warna logam yang kentara. “Metodenya khusus, sayang saya tidak begitu paham
saat dia ceritakan,”kata Jim.
Dalam beberapa decade terakhir, seni kontemporer Korea
Selatan berkembang sangat pesat hingga mampu mengambil alih ‘tahta’ kesenian
Asia yang sebelumnya dipegang oleh China dan Jepang. Ketertarikan pada karya
seni Korea bukan saja karena harganya yang jauh lebih murah dibandingkan karya
seni China – hingga berada di luar jangkauan para kolektor – dan kualitas karya
yang tidak tertinggal jauh. Tetapi juga karena tema-tema yang dipilih sangat
beragam. Berbeda dengan lukisan-lukisan China yang setia pada tema-tema
tertentu dan media cenderung mendominasi.
Selain itu, pemerintah Korea Selatan juga menyadari bahwa
perkembangan kebudayaan dan kesenian harus didukung oleh infrastruktur seni
yang kokoh, termasuk upaya ‘promosi’ secara berkelanjutan. Sehingga saat ini
dapat dengan mudah ditemukan instansi pendidikan seni, galeri dan rumah lelang di
Korea. Keberadaan mereka juga menyuburkan munculnya seniman-seniman muda di
tanah Korea. Jelas Korea Selatan banyak belajar dari tetangga mereka, China. Korea
semakin gencar memperkenalkan kebudayaan mereka dengan membangun, misalnya, pusat
kebudayaan Korea di berbagai Negara. Bahkan, pemerintah Korea Selatan baru-baru
ini telah meresmikan Pusat Kebudayaan Korea di Jakarta.
karya Nyoman Nuarta, Leopard 3, patina copper and brass, 150 x 60 x 90 cm |
Upaya ini juga didukung oleh berbagai stake holder lainnya. Sejumlah
galeri swasta ikut mendirikan cabang di kota-kota besar seperti New York untuk
mengambil keuntungan dari minat para kolektor Barat. Bahkan pelaku bisnis di
bidang lainnya juga ikut membangun sejumlah museum seni pribadi. Misalnya,
perusahaan Samsung yang memiliki koleksi seni pribadi. “Koleksi kontemporernya
bahkan lebih lengkap dibandingkan museum-museum yang ada di Eropa dan
Amerika,”ujar Jim. Perhatian dan keterlibatan dari pemerintahan ini tidak
dijumpai di Indonesia. Alhasil, perkembangan infrastruktur seni di Indonesia
kacau balau.
Peran Jeju dalam perkembangan sejarah seni di Korea Selatan,
diawali sekitar tahun 1980an. Saat itu, pemerintah memutuskan untuk lebih
mengembangkan Jeju selain sekedar tujuan wisata juga sebagai pusat pengembangan
kebudayaan dan kesenian Korea. Jeju bahkan sempat menjadi lokasi untuk
pengadaan pameran seni tingkat internasional, Biennale, yang pertama diadakan
di Koea Selatan. Namun, rencana itu dibatalkan dan dipindahkan ke kota Gwangju.
Seluruh anggaran pembangunan infrastruktur seni dipindahkan ke Gwangju.
Berbagai fasilitas pendukung kegiatan kebudayaan dan kesenian dibangun.
“Gwangju dibangun cukup besar, bahkan saat ini Gwangju Biennale dikenal
termahal di dunia,”kata Jim.
Hal yang sama juga
terjadi di Bali. Tony dari Tonyraka Art Gallery mengatakan, saat sebuah
komunitas kehilangan identitasnya maka bisa terjadi dua hal. Pertama, komunitas
itu akan lenyap karena krisis identitas. Atau, kedua, akan terbentuk komunitas
baru dengan identitas baru. “Jeju dan Bali, adalah salah satu komunitas yang
berhasil bersinergi dengan budaya-budaya baru yang masuk,”katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar