Arin Dwihartanto
"Bagaimana aku dipaksa untuk berkompromi dengan kondisi
'tak terkendali' dan menghadapinya dengan mengambil berbagai keputusan, yang
semua tergantung pada situasi di tangan." - Arin Dwihartanto
KECINTAAN seorang Arin Dwihartanto Sunaryo untuk terus
mengeksplorasi dan bereksperimen dengan berbagai material dan media lukis,
tidak saja memuaskan hasratnya dalam mendorong batas-batas dunia seni lukis.
Setelah cukup puas berkecimpung di dunia komik, karikatur, mangga,
dan lukisan minyak, ia akhirnya menemukan ‘pelabuhan hati’ di sebuah senyawa
kimia bernama resin. Dan kesuksesannya bereksperimen dengan resin,
menggiringnya menjadi salah satu seniman lukis asal Indonesia yang pertama kali
berhasil menunjukkan karyanya di Museum Gugenheim, New York. Suatu pencapaian
yang sangat membanggakan.
Mulanya, saat melanjutkan pendidikan di Central Saint
Martin’s College of Art & Design, London, gaya melukis Arin tak berbeda jauh
dengan pelukis modern art lainnya. Ia terus mengeksplorasi lukisan dengan cat
minyak meski dengan cara yang berbeda. Alih-alih ia menggunakan kuas untuk
menggoreskan cat minyak di kanvas. Arin lebih memilih untuk mengucurkan
langsung cat minyak di permukaan kanvas.
Untuk menghasilkan suatu gambaran, ia harus mengucurkan cat itu
berulang-ulang di atas kanvas. Tak jarang ia menggoyang-goyangkan kanvas ke
berbagai arah, hingga akhirnya tumpahan cat itu mengalir dan membentuk
komposisi yang ia inginkan dengan tekstur yang tak biasa. Hasilnya, sejumlah
lukisan seri bunga tampil dengan begitu indah dengan sapuan yang berbeda.
Namun, Arin merasakan ketidakpuasan saat melukis dengan cat
minyak. Bukan saja karena lukisannya cenderung membutuhkan waktu lebih panjang
untuk kering, tetapi kehausannya untuk terus mengeksplorasi material dan cat
sebagai medium tak bisa memuaskan dahaganya.
“Saya berfikir apakah melukis itu harus menggunakan media
kanvas? Harus dengan cat minyak? Atau apakah medium bisa menjadi lukisan itu
sendiri?”kata Arin saat berbincang ringan di Selasar Sunaryo Art Space,
Bandung, Senin (15/4).
Arin pun kemudian memutuskan membuang semua kuasnya.
Menggantinya dengan ember, kendi, kaleng ataupun teko untuk membuat kucuran dan
cipratan warna. Arin pun dipicu untuk terus mengeksplorasi medium lain selain
cat.
Hingga pada 2008, secara tak sengaja (accidental) ia memulai
ekperimen dengan resin, bahan industri berbahan dasar substansi cair sintetik
yang dapat mengeras menjadi benda solid dan transparan hanya dalam waktu satu
hari saja. Arin mengaku tidak pernah berpikir untuk menggunakan resin sebagai
media utamanya.
“Awalnya saya hanya menggunakan resin untuk melapisi
permukaan kanvas untuk mendapatkan hasil yang halus, dan menghasilkan efek
tertentu saat saya melukis menggunakan cat minyak diatasnya. Namun, karena
pekerjaan saya tidak pernah rapi, resin akhirnya menetes di tepi kanvas dan
mengering. Saya menjadi lebih tertarik mengamati bentuk resin di tepi kanvas,
ketimbang memeriksa apakah permukaan resin di atas kanvas sudah sempurna atau
tidak,”kata Arin.
Arin mengatakan, resin bukan hal baru di tengah masyarakat. Dulu
resin digunakan untuk berbagai keperluan seperti membuat mainan anak-anak,
piring, dempul mobil, hingga ke gigi palsu. Resin bahkan digunakan dalam
pengawetan mumi. Jadi, menurut Arin mengapa tidak dengan lukisan?.
Selama beberapa bulan, ia terus mengeksplorasi metode
melukis baru dengan menggunakan resin. Sepanjang itu, ia menemukan sifat-sifat
resin yang jauh berbeda penanganannya dengan cat minyak. Kurator Agung
Hujatnikajennong bahkan mengatakan bahwa ‘sifat-sifat resin telah menuntun Arin
pada pencapaian artistik yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya’.
“Saya tertarik dengan resin juga berhubungan dengan
kepentingan image yang ingin saya buat. Resin memberikan gambaran yang berbeda
dengan karya-karya lainnya. Ia memberikan karakter visual yang tidak
terduga,”katanya.
Kecintaan Arin kepada resin bertambah saat secara tidak
sengaja ia menemukan evek visual yang sangat menarik ketika mengucurkan resin
dengan berbagai warna ke atas permukaan benda yang datar. Saat resin itu
mengering dan dikelupas, ia menemukan karakter visual yang cukup tak terduga di
sisi dasar genangan yang mengeras.
“Karena dikucurkan di media datar, hasil genangan resin
berubah menjadi bidang yang sangat rata, mulus dengan warna-warna yang cukup
mengejutkan karena terbentuk dari gradasi warna. Saya tidak mencari tekstur
yang terbentuk dari resin yang mengeras, tapi sisi datarnya,”kata Arin.
Arin pun mengaku metode lukis ini membuatnya kerap diliputi
emosional. Karena ia tidak bisa menduga wujud akhir dari proses melukisnya hingga
genangan resin mengering dan dikelupas. Agung menyebut teknik melukis Arin
dengan ‘prosedur terbalik’, karena ia menjadikan kucuran ataupun cipratan
pertama sebagai lapisan paling muka dan yang akan ditampilkan kehadapan
pengunjung. Berbeda dengan melukis menggunakan cat minyak, dimana goresan
paling atas adalah sisi terdepan yang akan dilihat pengunjung.
“Terkadang hasilnya tidak memuaskan, tidak sesuai dengan
yang saya harapkan. Cukup sering. Namun sebaliknya, terkadang hasil akhir
lukisan sangat tidak terduga,”katanya.
Simbiosis
Baru
Dalam sejarah, resin dinilai sebagai substansi kimiawi yang
sangat beharga dan hanya diperuntukkan dalam ritual-ritual keagamaan oleh
keluarga para raja. Sebut saja di masa kejayaan Romawi, Yunani dan Mesir kuno,
resin digunakan sebagai substansi pengawet seperti dalam proses mumifikasi.
Arin menjelaskan, secara alami resin dihasilkan oleh
tetumbuhan konifer (pohon berdaun jarum seperti pohon cemara) dengan sifat
kimiawi mampu merekatkan, melindungi dan mempertahankan benda-benda dari
degradasi. “Kita lebih mengenal resin sebagai getah. Wujudnya yang kental,
transparan dan lengket menjadikannya material dan medium yang sempurna untuk
menggantikan kanvas dan cat minyak. Terutama saat dicampurkan dengan berbagai
pigmen,”kata Arin.
Dalam prakteknya, Arin memilih untuk menggunakan resin
sintetik ketimbang resin alami. Alasannya, selain karena harganya yang sangat,
sangat mahal, Arin juga ingin merefleksikan semangat industry modern di dalam
karyanya. Seperti yang terlihat dalam sejumlah karya resin-nya, hasil akhir
muncul dengan kualitas yang tak jauh berbeda dengan produk berbahan resin yang
dicetak menggunakan mesin. Permukaan lukisan yang rata, halus, licin sekaligus
mengkilap hingga mampu memantulkan cahaya dan citra bayangan benda-benda yang
ada di depannya.
“Resin merupakan bahan yang tidak terduga. Kemana ia
mengalir kita tidak bisa menghentikannya,”kata Arin.
Beberapa tahun kemudian, Arin mulai mengeksplorasi metode
baru dalam memanfaatkan resin. Ia kemudian menggabungkan teknik digital
printing dalam sejumlah karya terbarunya. Seperti yang terlihat dalam seri
karya CMYK (singkatan dari Cyan, Magenta, Yellow dan Black/Key), Arin tidak
saja menyajikan lukisan dengan permukaan yang penuh dengan warna-warna berani
dan menyala. Tapi ia juga ‘menjerat’ dirinya ke dalam lukisan dengan citra
fotografis yang disematkan di belakang lapisan resin yang transparan.
“Saya tidak saja menampilkan renin dengan warna-warnanya,
tetapi juga citraan fotografi. Dibuat sedemikian rupa hingga ada hubungan
antara dimensi belakang dengan depan. Hasilnya, lukisan ini tidak saja menjadi
lukisan abstrak tetapi menjadi figurative painting,”kata Arin.
Dengan metode ini, Arin berharap para pengunjung tidak saja
berhasil menangkap gambaran dua dimensi dari lapisan renin, tetapi juga dimensi
ketiga. “Mereka tidak saja melihat hasil, tetapi juga proses saat lukisan itu
dibuat. Sehingga pengunjung seakan-akan tengah melihat saya menuangkan cat
kehadapan mereka,”ujarnya.
Dalam berkarya Arin ternyata juga tidak melupakan aspek
ekologis dan konservatif. Terlihat dari upayanya untuk memanfaatkan
‘limbah-limbah’ proses melukis dengan resin menjadi satu bentuk karya lainnya.
“Saya sangat menekankan bahwa karya ini harus ramah lingkungan. Sisa-sisa resin
hasil pengelupasan tidak saya buang begitu saja. Termasuk karya-karya yang
gagal,”kata Arin.
“Saya memilih untuk melakukan recycle (daur ulang). Suatu
hari, sisa-sisa resin saya kumpulkan. Kemudian disatukan menjadi sebuah mozaik kotak
dan tiang. Hasilnya cukup mengejutkan, terutama karena karya ini adalah bentuk
spontanitas. Jadi sangat menarik,”ungkap Arin dengan nada berbangga.
Di seri Debu Vulkanik
(Volcanic Dust), Arin menjadikan lukisannya sebagai rekaman sejarah. Dengan
menggunakan debu-debu vulkanik sebagai pigmen, Arin berupaya ‘mengawetkan’
tragedi letusan gunung Merapi terbesar di abad ini dalam lukisannya. Hasilnya
cukup mengejutkan. Debu-debu vulkanik dari gunung Merapi berhasil memberikan
ilusi dan warna yang berbeda dengan karya-karya sebelumnya.
“Masing-masing orang dapat berkontribusi dan menunjukkan
rasa simpatinya dengan berbagai cara. Saya menunjukkannya dengan menjadikan
debu vulkanik Merapi sebagai bagian dari medium lukisan,”
kata Arin.
kata Arin.
Setidaknya 13 lukisan dihasilkan di studionya di Cigadung,
Bandung Utara, untuk seri Debu Vulkanik dan ia masih akan menggunakan materi
yang sama dalam pembuatan lukisan barunya nanti. “Saya ingin merekam dan menangkap
momen tersebut. Jadi para pengunjung tidak sekedar melihat hasilnya, tetapi
juga cerita dibalik penggunaan material dan medium yang digunakan. Lukisan ini
akhirnya memiliki naratif-nya sendiri,”kata Arin.
Panggung Guggenheim
Siapa yang dapat menduga akhir cerita dari sebuah karya
lukisan yang dibuat? Setidaknya itu yang dialami Arin saat menampilkan
karya-karya resinnya di seri Debu Vulkanik, pada 2012 lalu. Saat ia merenungi nasib lukisan berukuran lima
meter yang masih teronggok di Galeri Nadi- Jakarta, seorang kurator ternama
dari Museum Guggenheim-London, June Yap, sibuk mencari karya-karya seniman Asia
Selatan dan Tenggara untuk dipamerkan.
“Ironinya, lukisan yang dipilih untuk dipamerkan ke Museum
Guggenheim adalah lukisan yang tidak laku dalam pameran di Jakarta. Sebenarnya,
hingga akhir pameran ada dua kandidat yang tertarik. Namun, entah mengapa saat
terakhir melihat mereka membatalkan niatnya. Hingga akhirnya June Yap datang,”kata
Arin.
June Yap mendapatkan rekomendasi tentang Arin setelah
melakukan serangkaian wawancara dengan para seniman dan kurator yang ada di
Indonesia. Dan, saat melihat langsung hasil karya Arin, tanpa buang waktu June
Yap setuju untuk memboyong seri keempat dari Debu Vulkanik ke New York.
“Sepertinya memang sudah jalannya lukisan itu untuk sampai di Guggenheim,”kata
Arin yang ikut mendampingi persiapan pameran.
Arin mengaku sempat menanyakan alas an June Yap memilih
karyanya. “Dia hanya mengatakan bahwa karya saya sangat sesuai, cocok, dengan
tema yang akan ia tampilkan di Museum Guggenheim,”katanya.
Memandang tema yang diusung, ‘No Country: Contemporary Art
for South and Southeast Asia’, Arin berspekulasi bahwa karyanya dipilih karena
mudah diterima secara general.
“Tidak ada unsur politik di dalamnya. Lukisan
ini juga tidak berbicara tentang Asia saja. Sehingga saya yakin lukisan ini
mudah diterima oleh berbagai kalangan di dunia,”kata Arin. “Lukisan ini
memiliki kelebihan karena mengandung unsur lokal. Dan, karya ini sama sekali
tidak vulgar”.
Lalu, bagaimana pandangan Arin tentang kesuksesannya
menggapai Guggenheim, salah satu museum seni terkemuka di dunia yang menjadi
kiblat perkembangan modern art? Tampaknya Arin ingin menunjukkan kerendahan
hatinya atas prestasinya kali ini. Berbeda dengan sang ayah, maestro seni rupa-
Sunaryo Soetono, yang melihat pencapaian anaknya sebagai prestasi luar biasa.
“Karya saya saja tidak ada yang sampai Guggenheim,”kata Sunaryo.
“Guggenheim hanyalah salah satu komunitas penting dalam
pengembangan modern art. Tetapi masih banyak komunitas lainnya. Selain itu,
dalam pemilihan karya Guggenheim sangat subjektif. Jadi bisa saya katakan ini
bukan prestasi puncak saya, berbeda jika karya ini tampil di berbagai
komunitas,”kata Arin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar