Jumat, 24 Mei 2013

Guggenheim dan Resin


Arin Dwihartanto

"Bagaimana aku dipaksa untuk berkompromi dengan kondisi 'tak terkendali' dan menghadapinya dengan mengambil berbagai keputusan, yang semua tergantung pada situasi di tangan." - Arin Dwihartanto

KECINTAAN seorang Arin Dwihartanto Sunaryo untuk terus mengeksplorasi dan bereksperimen dengan berbagai material dan media lukis, tidak saja memuaskan hasratnya dalam mendorong batas-batas dunia seni lukis.

Setelah cukup puas berkecimpung di dunia komik, karikatur, mangga, dan lukisan minyak, ia akhirnya menemukan ‘pelabuhan hati’ di sebuah senyawa kimia bernama resin. Dan kesuksesannya bereksperimen dengan resin, menggiringnya menjadi salah satu seniman lukis asal Indonesia yang pertama kali berhasil menunjukkan karyanya di Museum Gugenheim, New York. Suatu pencapaian yang sangat membanggakan.

Mulanya, saat melanjutkan pendidikan di Central Saint Martin’s College of Art & Design, London, gaya melukis Arin tak berbeda jauh dengan pelukis modern art lainnya. Ia terus mengeksplorasi lukisan dengan cat minyak meski dengan cara yang berbeda. Alih-alih ia menggunakan kuas untuk menggoreskan cat minyak di kanvas. Arin lebih memilih untuk mengucurkan langsung cat minyak di permukaan kanvas.

Untuk menghasilkan suatu gambaran, ia harus mengucurkan cat itu berulang-ulang di atas kanvas. Tak jarang ia menggoyang-goyangkan kanvas ke berbagai arah, hingga akhirnya tumpahan cat itu mengalir dan membentuk komposisi yang ia inginkan dengan tekstur yang tak biasa. Hasilnya, sejumlah lukisan seri bunga tampil dengan begitu indah dengan sapuan yang berbeda.

Namun, Arin merasakan ketidakpuasan saat melukis dengan cat minyak. Bukan saja karena lukisannya cenderung membutuhkan waktu lebih panjang untuk kering, tetapi kehausannya untuk terus mengeksplorasi material dan cat sebagai medium tak bisa memuaskan dahaganya.

“Saya berfikir apakah melukis itu harus menggunakan media kanvas? Harus dengan cat minyak? Atau apakah medium bisa menjadi lukisan itu sendiri?”kata Arin saat berbincang ringan di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, Senin (15/4).

Arin pun kemudian memutuskan membuang semua kuasnya. Menggantinya dengan ember, kendi, kaleng ataupun teko untuk membuat kucuran dan cipratan warna. Arin pun dipicu untuk terus mengeksplorasi medium lain selain cat.

Hingga pada 2008, secara tak sengaja (accidental) ia memulai ekperimen dengan resin, bahan industri berbahan dasar substansi cair sintetik yang dapat mengeras menjadi benda solid dan transparan hanya dalam waktu satu hari saja. Arin mengaku tidak pernah berpikir untuk menggunakan resin sebagai media utamanya.

“Awalnya saya hanya menggunakan resin untuk melapisi permukaan kanvas untuk mendapatkan hasil yang halus, dan menghasilkan efek tertentu saat saya melukis menggunakan cat minyak diatasnya. Namun, karena pekerjaan saya tidak pernah rapi, resin akhirnya menetes di tepi kanvas dan mengering. Saya menjadi lebih tertarik mengamati bentuk resin di tepi kanvas, ketimbang memeriksa apakah permukaan resin di atas kanvas sudah sempurna atau tidak,”kata Arin.

Arin mengatakan, resin bukan hal baru di tengah masyarakat. Dulu resin digunakan untuk berbagai keperluan seperti membuat mainan anak-anak, piring, dempul mobil, hingga ke gigi palsu. Resin bahkan digunakan dalam pengawetan mumi. Jadi, menurut Arin mengapa tidak dengan lukisan?.

Selama beberapa bulan, ia terus mengeksplorasi metode melukis baru dengan menggunakan resin. Sepanjang itu, ia menemukan sifat-sifat resin yang jauh berbeda penanganannya dengan cat minyak. Kurator Agung Hujatnikajennong bahkan mengatakan bahwa ‘sifat-sifat resin telah menuntun Arin pada pencapaian artistik yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya’.

“Saya tertarik dengan resin juga berhubungan dengan kepentingan image yang ingin saya buat. Resin memberikan gambaran yang berbeda dengan karya-karya lainnya. Ia memberikan karakter visual yang tidak terduga,”katanya.

Kecintaan Arin kepada resin bertambah saat secara tidak sengaja ia menemukan evek visual yang sangat menarik ketika mengucurkan resin dengan berbagai warna ke atas permukaan benda yang datar. Saat resin itu mengering dan dikelupas, ia menemukan karakter visual yang cukup tak terduga di sisi dasar genangan yang mengeras.

“Karena dikucurkan di media datar, hasil genangan resin berubah menjadi bidang yang sangat rata, mulus dengan warna-warna yang cukup mengejutkan karena terbentuk dari gradasi warna. Saya tidak mencari tekstur yang terbentuk dari resin yang mengeras, tapi sisi datarnya,”kata Arin.  

Arin pun mengaku metode lukis ini membuatnya kerap diliputi emosional. Karena ia tidak bisa menduga wujud akhir dari proses melukisnya hingga genangan resin mengering dan dikelupas. Agung menyebut teknik melukis Arin dengan ‘prosedur terbalik’, karena ia menjadikan kucuran ataupun cipratan pertama sebagai lapisan paling muka dan yang akan ditampilkan kehadapan pengunjung. Berbeda dengan melukis menggunakan cat minyak, dimana goresan paling atas adalah sisi terdepan yang akan dilihat pengunjung.

“Terkadang hasilnya tidak memuaskan, tidak sesuai dengan yang saya harapkan. Cukup sering. Namun sebaliknya, terkadang hasil akhir lukisan sangat tidak terduga,”katanya.



Simbiosis Baru

Dalam sejarah, resin dinilai sebagai substansi kimiawi yang sangat beharga dan hanya diperuntukkan dalam ritual-ritual keagamaan oleh keluarga para raja. Sebut saja di masa kejayaan Romawi, Yunani dan Mesir kuno, resin digunakan sebagai substansi pengawet seperti dalam proses mumifikasi.

Arin menjelaskan, secara alami resin dihasilkan oleh tetumbuhan konifer (pohon berdaun jarum seperti pohon cemara) dengan sifat kimiawi mampu merekatkan, melindungi dan mempertahankan benda-benda dari degradasi. “Kita lebih mengenal resin sebagai getah. Wujudnya yang kental, transparan dan lengket menjadikannya material dan medium yang sempurna untuk menggantikan kanvas dan cat minyak. Terutama saat dicampurkan dengan berbagai pigmen,”kata Arin.

Dalam prakteknya, Arin memilih untuk menggunakan resin sintetik ketimbang resin alami. Alasannya, selain karena harganya yang sangat, sangat mahal, Arin juga ingin merefleksikan semangat industry modern di dalam karyanya. Seperti yang terlihat dalam sejumlah karya resin-nya, hasil akhir muncul dengan kualitas yang tak jauh berbeda dengan produk berbahan resin yang dicetak menggunakan mesin. Permukaan lukisan yang rata, halus, licin sekaligus mengkilap hingga mampu memantulkan cahaya dan citra bayangan benda-benda yang ada di depannya.

“Resin merupakan bahan yang tidak terduga. Kemana ia mengalir kita tidak bisa menghentikannya,”kata Arin.

Beberapa tahun kemudian, Arin mulai mengeksplorasi metode baru dalam memanfaatkan resin. Ia kemudian menggabungkan teknik digital printing dalam sejumlah karya terbarunya. Seperti yang terlihat dalam seri karya CMYK (singkatan dari Cyan, Magenta, Yellow dan Black/Key), Arin tidak saja menyajikan lukisan dengan permukaan yang penuh dengan warna-warna berani dan menyala. Tapi ia juga ‘menjerat’ dirinya ke dalam lukisan dengan citra fotografis yang disematkan di belakang lapisan resin yang transparan.

“Saya tidak saja menampilkan renin dengan warna-warnanya, tetapi juga citraan fotografi. Dibuat sedemikian rupa hingga ada hubungan antara dimensi belakang dengan depan. Hasilnya, lukisan ini tidak saja menjadi lukisan abstrak tetapi menjadi figurative painting,”kata Arin.

Dengan metode ini, Arin berharap para pengunjung tidak saja berhasil menangkap gambaran dua dimensi dari lapisan renin, tetapi juga dimensi ketiga. “Mereka tidak saja melihat hasil, tetapi juga proses saat lukisan itu dibuat. Sehingga pengunjung seakan-akan tengah melihat saya menuangkan cat kehadapan mereka,”ujarnya.


Dalam berkarya Arin ternyata juga tidak melupakan aspek ekologis dan konservatif. Terlihat dari upayanya untuk memanfaatkan ‘limbah-limbah’ proses melukis dengan resin menjadi satu bentuk karya lainnya. “Saya sangat menekankan bahwa karya ini harus ramah lingkungan. Sisa-sisa resin hasil pengelupasan tidak saya buang begitu saja. Termasuk karya-karya yang gagal,”kata Arin.

“Saya memilih untuk melakukan recycle (daur ulang). Suatu hari, sisa-sisa resin saya kumpulkan. Kemudian disatukan menjadi sebuah mozaik kotak dan tiang. Hasilnya cukup mengejutkan, terutama karena karya ini adalah bentuk spontanitas. Jadi sangat menarik,”ungkap Arin dengan nada berbangga.

Di seri Debu Vulkanik (Volcanic Dust), Arin menjadikan lukisannya sebagai rekaman sejarah. Dengan menggunakan debu-debu vulkanik sebagai pigmen, Arin berupaya ‘mengawetkan’ tragedi letusan gunung Merapi terbesar di abad ini dalam lukisannya. Hasilnya cukup mengejutkan. Debu-debu vulkanik dari gunung Merapi berhasil memberikan ilusi dan warna yang berbeda dengan karya-karya sebelumnya.

“Masing-masing orang dapat berkontribusi dan menunjukkan rasa simpatinya dengan berbagai cara. Saya menunjukkannya dengan menjadikan debu vulkanik Merapi sebagai bagian dari medium lukisan,”
kata Arin.

Setidaknya 13 lukisan dihasilkan di studionya di Cigadung, Bandung Utara, untuk seri Debu Vulkanik dan ia masih akan menggunakan materi yang sama dalam pembuatan lukisan barunya nanti. “Saya ingin merekam dan menangkap momen tersebut. Jadi para pengunjung tidak sekedar melihat hasilnya, tetapi juga cerita dibalik penggunaan material dan medium yang digunakan. Lukisan ini akhirnya memiliki naratif-nya sendiri,”kata Arin.

Panggung Guggenheim

Siapa yang dapat menduga akhir cerita dari sebuah karya lukisan yang dibuat? Setidaknya itu yang dialami Arin saat menampilkan karya-karya resinnya di seri Debu Vulkanik, pada 2012 lalu.  Saat ia merenungi nasib lukisan berukuran lima meter yang masih teronggok di Galeri Nadi- Jakarta, seorang kurator ternama dari Museum Guggenheim-London, June Yap, sibuk mencari karya-karya seniman Asia Selatan dan Tenggara untuk dipamerkan.


“Ironinya, lukisan yang dipilih untuk dipamerkan ke Museum Guggenheim adalah lukisan yang tidak laku dalam pameran di Jakarta. Sebenarnya, hingga akhir pameran ada dua kandidat yang tertarik. Namun, entah mengapa saat terakhir melihat mereka membatalkan niatnya. Hingga akhirnya June Yap datang,”kata Arin.

June Yap mendapatkan rekomendasi tentang Arin setelah melakukan serangkaian wawancara dengan para seniman dan kurator yang ada di Indonesia. Dan, saat melihat langsung hasil karya Arin, tanpa buang waktu June Yap setuju untuk memboyong seri keempat dari Debu Vulkanik ke New York. “Sepertinya memang sudah jalannya lukisan itu untuk sampai di Guggenheim,”kata Arin yang ikut mendampingi persiapan pameran.

Arin mengaku sempat menanyakan alas an June Yap memilih karyanya. “Dia hanya mengatakan bahwa karya saya sangat sesuai, cocok, dengan tema yang akan ia tampilkan di Museum Guggenheim,”katanya.
Memandang tema yang diusung, ‘No Country: Contemporary Art for South and Southeast Asia’, Arin berspekulasi bahwa karyanya dipilih karena mudah diterima secara general. 

“Tidak ada unsur politik di dalamnya. Lukisan ini juga tidak berbicara tentang Asia saja. Sehingga saya yakin lukisan ini mudah diterima oleh berbagai kalangan di dunia,”kata Arin. “Lukisan ini memiliki kelebihan karena mengandung unsur lokal. Dan, karya ini sama sekali tidak vulgar”.

Lalu, bagaimana pandangan Arin tentang kesuksesannya menggapai Guggenheim, salah satu museum seni terkemuka di dunia yang menjadi kiblat perkembangan modern art? Tampaknya Arin ingin menunjukkan kerendahan hatinya atas prestasinya kali ini. Berbeda dengan sang ayah, maestro seni rupa- Sunaryo Soetono, yang melihat pencapaian anaknya sebagai prestasi luar biasa. “Karya saya saja tidak ada yang sampai Guggenheim,”kata Sunaryo.

“Guggenheim hanyalah salah satu komunitas penting dalam pengembangan modern art. Tetapi masih banyak komunitas lainnya. Selain itu, dalam pemilihan karya Guggenheim sangat subjektif. Jadi bisa saya katakan ini bukan prestasi puncak saya, berbeda jika karya ini tampil di berbagai komunitas,”kata Arin. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar