Reza Afisina
TUBUHNYA adalah media dalam berkarya seni. Ia bahkan tak
canggung untuk mengeksplorasi rasa sakit dan nyeri pada tubuhnya sebagai media
untuk menunjukkan pesan. Seperti yang ditampilkan dalam video performance art
bertajuk ‘What…”, Reza Afisina berkali-kali menampar wajahnya hingga lebam
seakan-akan ia dalam proses introgasi yang brutal, dengan sesekali menyisipkan
narasi yang sarat makna.
Menempuh pendidikan dibidang perfilman di Institut Kesenian Jakarta (IKJ), meski tidak
lulus, karya-karya Reza berhasil mendapatkan perhatian dan pengakuan para
kurator seni baik dari dalam maupun luar negeri. Bahkan, video performace
‘What…’ yang ia buat pada tahun 2001, telah berulang kali melalang buana.
Karya ini juga pada akhirnya terpilih mewakili Indonesia
untuk dipamerkan di museum ternama dunia seni modern dan kontemporari dunia,
Guggenheim Museum-New York, bertajuk "No Country: Contemporary Art for
South and Southeast Asia", pada 22 Februari hingga 22 Mei lalu, dan kini telah
menjadi koleksi tetap museum.
“Saya bersyukur, karya performance art video yang sudah
berusia lebih dari 12 tahun itu, menjadi salah satu dari beberapa karya saya
yang telah ditampilkan dalam beberapa event festival dan pameran, baik di dalam
maupun luar negeri. Bahkan, dalam beberapa kesempatan masuk sebagai materi
diskusi dalam kelas kuliah dan seminar tentang seni performans atau medium seni
video,”kata Reza yang lahir pada tahun 1977, di Bandung.
Nyatanya video yang berdurasi kurang lebih 11 menit itu, dinilai
sebagai salah satu video yang mampu mencapai dimensi artistik dan konten yang
sangat kuat. Hingga mampu menjadi tonggak capaian artistic sejarah seni video
Indonesia dalam 10 tahun terakhir. “What…’
juga masuk dalam kompilasi 10 Tahun Seni Video Indonesia yang diterbitkan oleh ruangrupa
Jakarta.
Kurator Rifky Effendy menilai, keputusan Museum Guggenheim
untuk menjadikan video ‘What..’ sebagai salah satu koleksinya bukanlah hal yang
mengejutkan. Pasalnya, video tersebut memang sudah cukup sering ditampilkan
dalam berbagai ajang internasional seperti festival, pameran, hingga kuliah
umum.
“Sebenarnya tidak terlalu mengejutkan, bahkan bisa dibilang
mereka (Guggenheim) sudah ketinggalan zaman karena video ini sudah beredar ke
berbagai Negara sejak tahun 2001,”kata Rifky. “Lagipula, Asung (panggilan
popoler Reza) termasuk salah satu seniman performans dan videografi Indonesia
yang sudah cukup senior. Jadi wajar dan layaklah”.
Selain itu, Rifky menilai Reza cukup berhasil menggambarkan
pesan yang ingin disampaikan. “Caranya menyakiti dirinya sendiri, berhasil
menggambarkan perjuangan dan rasa sakit yang dirasakan masyarakat Indonesia
saat itu setelah terlepas dari kukungan Orde Baru. Dan ia melakukannya secara
total, itu kelebihannya”.
Cuplikan Video "What.."
Kecintaan Reza untuk mengeksplorasi tubuh sebagai media
dalam berkarya bukan tanpa dasar. Bagi Reza, tubuh adalah bentuk-ruang yang
dapat selalu hadir dalam konteks baru selama tidak hancur. Dan, ia memilih
medium video dengan kemampuannya merekam untuk ‘memelihara’ bentuk tubuh yang
terekam itu.
“Saya kerap tertarik untuk mengeksplorasi gagasan-gagasan
yang hadir dalam bentuk medium seni performans, yang melibatkan tubuh,
eksistensi tubuh dan ektensi dari tubuh. Biasanya insipirasi muncul dari
narasi-narasi kecil di lingkungan sekitar yang bisa saya pelajari kapan dan
dalam bentuk apa saja,”ungkapnya.
Bagi reza, berbagai peristiwa dalam kehidupan sehari-hari
adalah ‘image’ yang terbentuk. “Bagaimana system dan pola transaksi dalam
kehidupan sosial, bukan hanya transaksi ekonomi saja, bisa menjadi begitu penting
dan menarik untuk saya gali dan dipresentasikan kembali dalam bentuk suatu
karya”.
Keunikan video performance ‘What…’, menurut Reza, terletak
pada konteksnya yang masih bisa berlaku hingga saat ini dan beragamnya
penilaian yang bisa dihadirkan hanya dengan satu penampilan. “Saya tidak ingin
video performance ‘What..’ menghadirkan isu, tema bahkan pesan tertentu.
Penilaian atas video itu bisa berbeda-beda dan itu yang saya inginkan,”katanya.
Menurutnya, ‘kejeniusan’ sebuah karya tidak saja berhenti
saat dipamerkan. “Eksplorasi medium tidak pernah berhenti hanya sampai karya
itu dipamerkan, melainkan hingga ketahapan penilaian dan pembahasan. Dan dengan
sendirinya karya itu akan terus secara organik berevolusi,”katanya.
Kehandalan Reza dalam ‘mengolah’ medium inilah yang diduga
menjadi dasar dipilihnya ia bersama Arin Dwihartanto Sunaryo untuk mewakili
Indonesia dalam pameran di Museum Guggenheim yang berlangsung selama tiga bulan
itu.
“Dewan kurator, tim kutorial dan June Yap di Guggenheim Museum,
melihat karya video performance art ‘What..’ sebagai sebuah karya yang bisa
merefleksikan bentuk eksplorasi medium, bukan hanya berasal dari mana dan
dibuat oleh siapa. Sehingga, karya ini bisa dieksplorasi dan diamati berbagai
Negara, agama dan perbedaan,”kata Reza yang tergabung dalam organisasi nirlaba Ruangrupa-Jakarta
sebagai Koordinator Program Artistik untuk Divisi Laboratorium Seni Rupa.
June Yap sendiri, menurut Reza, tidak secara khusus
mencarinya saat mengumpulkan seniman-seniman berbakat Asia yang memiliki karya
sesuai dengan tema yang akan ditampilkan di Guggenheim. Meski hubungan keduanya
sudah terjalin cukup lama jauh sebelum June Yap memulai ekspedisinya untuk
proyek terbaru Guggenheim itu.
Meski sempat bertatap muka, ternyata Reza gagal menunjukkan
sejumlah karya-karyanya termasuk video performance art ‘What..’ secara langsung
kepada June Yap. “June Yap hanya
mewawancarai seputar proses dan medium karya yang selalu saya buat. Hingga saat
June Yap kemudian kembali ke Amerika Serikat, ia teringat dengan video
performance ‘What...’,”kata Reza yang menjadikan Yves Klien dan Danny Devos
(DDV) sebagai tokoh panutan dalam pembelajaran di wilayah seni performans dan
eksplorasi media.
Dalam pandangan Reza, karyanya bisa menjadi bukti bahwa seni
dan budaya tidak semerta-merta menjadi jembataan yang bisa ‘dimanfaatkan’ untuk
menghubungkan berbagai Negara, agama dan perbedaan.
“Seni dan budaya juga harus berkolaborasi dan berelaborasi
dengan berbagai bidang dan disiplin ilmu lain. Dan, bilapun seni menjadi ‘alat’
untuk memecah kebekuan dan perbedaan yang terjadi di wilayah sosial, selama hal
itu berakibat baik dan tidak merugikan, maka sepatutnya memang dilakukan.
Kenapa tidak, selama tidak ada unsur paksaan,”ungkapnya.
Ini pula yang ditunjukkan Reza dalam video performance art ‘My
Chemical Sister (2004)’, yang menggambarkan hubungan antara bahan-bahan kimia
dalam kosmetik yang sebagian besar mengandung bahan berbahaya bagi tubuh, dengan
pencitraan seorang model yang cantik rupawan sebagai bentuk lain dari rasa
sakit. Bagaimana nafsu manusia untuk
mencapai kesempurnaan fisik dapat dikalahkan oleh racun yang secara sengaja dikenakan.
Sebagai seniman, Reza juga tidak pernah takut dalam
menyuarakan isi hati, emosi dan pemikirannya. Terutama terhadap para kurator,
seperti kolektor seni, pemilik galeri dan berbagai posisi dalam lingkup dunia
pasar seni rupa.
“Posisi saya sebagai seniman, terhadap para kurator seni yang menurut saya tidak menghormati karya dan
keprofesian para seniman, tentu akan sangat ‘keras’. Bagi saya bukan sekedar
‘berani’ berhadapan dengan kurator, akan tetapi sudah sepantasnya seorang
seniman harus mempunyai posisi dan nilai tawar keilmuan dengan bekal serta
pengalaman yang telah dan akan dimilikinya”.
Meski begitu, ia mengaku sangat berhati-hati saat menanggapi
masukan dan kritikan dari berbagai pihak khususnya dari dunia tentang image
yang akan ia bangun. Ia justru mengaku selalu awas dengan konteks
‘internasional’.
“Tidak sedikit konteks yang dibangun oleh pasar seni rupa
tingkat dunia, ternyata tidak memiliki kontribusi pada seni rupa itu sendiri. Kebanyakan
malah mubazir, jadi saya memutuskan lebih baik untuk membangun image dari karya
dan terus berupaya berkontribusi pada perkembangan seni rupa Indonesia meski
dimulai dari wilayah paling kecil”.
Atas prestasinya kali ini, begitu Reza menilainya, meski sangat
senang dan bersyukur namun baginya ini bukanlah prestasi puncak.
Keberhasilannya ‘mengibarkan’ salah satu karyanya di Guggenheim Museum, tidak
lebih sebagai bentuk tanggung jawab secara karier dan disiplin ilmu. “Secara
positif, saya menilai pencapaian ini justru membuka peluang untuk mengintropeksi
dan mengkritik karya-karya saya selama ini dan yang akan hadir
kemudian,”katanya.
Reza juga tidak menutup peluang untuk lebih banyak
mengeksplorasi media-media seni lainnya di waktu mendatang. Bagaimanapun,
selaku seniman kontemporer ia ‘diwajibkan’ untuk terus mengeksplorasi media
lain dalam berkarya.
“Saya harus mengalami eksplorasi medium lain dengan tetap
mengembangkan apa yang sudah saya pelajari selama ini, yakni seni performans
dan seni video,”kata Reza yang mengaku cukup mengagumi kinerja Ade Darmawan
dalam berkreasi, yang kebetulan adalah ‘bos-nya’ di Ruangrupa Jakarta.
Namun, apa yang menjadi pencapaian terbesarnya saat ini?
Reza menjawab: “menjadi seorang ayah dari dua orang anak yang menakjubkan”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar