Jumat, 24 Mei 2013

Tubuh, Media Seni Tanpa Batas


Reza Afisina

TUBUHNYA adalah media dalam berkarya seni. Ia bahkan tak canggung untuk mengeksplorasi rasa sakit dan nyeri pada tubuhnya sebagai media untuk menunjukkan pesan. Seperti yang ditampilkan dalam video performance art bertajuk ‘What…”, Reza Afisina berkali-kali menampar wajahnya hingga lebam seakan-akan ia dalam proses introgasi yang brutal, dengan sesekali menyisipkan narasi yang sarat makna.

Menempuh pendidikan dibidang perfilman di  Institut Kesenian Jakarta (IKJ), meski tidak lulus, karya-karya Reza berhasil mendapatkan perhatian dan pengakuan para kurator seni baik dari dalam maupun luar negeri. Bahkan, video performace ‘What…’ yang ia buat pada tahun 2001, telah berulang kali melalang buana.

Karya ini juga pada akhirnya terpilih mewakili Indonesia untuk dipamerkan di museum ternama dunia seni modern dan kontemporari dunia, Guggenheim Museum-New York, bertajuk "No Country: Contemporary Art for South and Southeast Asia", pada 22 Februari hingga 22 Mei lalu, dan kini telah menjadi koleksi tetap museum.

“Saya bersyukur, karya performance art video yang sudah berusia lebih dari 12 tahun itu, menjadi salah satu dari beberapa karya saya yang telah ditampilkan dalam beberapa event festival dan pameran, baik di dalam maupun luar negeri. Bahkan, dalam beberapa kesempatan masuk sebagai materi diskusi dalam kelas kuliah dan seminar tentang seni performans atau medium seni video,”kata Reza yang lahir pada tahun 1977, di Bandung.

Nyatanya video yang berdurasi kurang lebih 11 menit itu, dinilai sebagai salah satu video yang mampu mencapai dimensi artistik dan konten yang sangat kuat. Hingga mampu menjadi tonggak capaian artistic sejarah seni video Indonesia dalam 10 tahun terakhir.  “What…’ juga masuk dalam kompilasi 10 Tahun Seni Video Indonesia yang diterbitkan oleh ruangrupa Jakarta.

Kurator Rifky Effendy menilai, keputusan Museum Guggenheim untuk menjadikan video ‘What..’ sebagai salah satu koleksinya bukanlah hal yang mengejutkan. Pasalnya, video tersebut memang sudah cukup sering ditampilkan dalam berbagai ajang internasional seperti festival, pameran, hingga kuliah umum.

“Sebenarnya tidak terlalu mengejutkan, bahkan bisa dibilang mereka (Guggenheim) sudah ketinggalan zaman karena video ini sudah beredar ke berbagai Negara sejak tahun 2001,”kata Rifky. “Lagipula, Asung (panggilan popoler Reza) termasuk salah satu seniman performans dan videografi Indonesia yang sudah cukup senior. Jadi wajar dan layaklah”.

Selain itu, Rifky menilai Reza cukup berhasil menggambarkan pesan yang ingin disampaikan. “Caranya menyakiti dirinya sendiri, berhasil menggambarkan perjuangan dan rasa sakit yang dirasakan masyarakat Indonesia saat itu setelah terlepas dari kukungan Orde Baru. Dan ia melakukannya secara total, itu kelebihannya”.


Cuplikan Video "What.."

Kecintaan Reza untuk mengeksplorasi tubuh sebagai media dalam berkarya bukan tanpa dasar. Bagi Reza, tubuh adalah bentuk-ruang yang dapat selalu hadir dalam konteks baru selama tidak hancur. Dan, ia memilih medium video dengan kemampuannya merekam untuk ‘memelihara’ bentuk tubuh yang terekam itu.

“Saya kerap tertarik untuk mengeksplorasi gagasan-gagasan yang hadir dalam bentuk medium seni performans, yang melibatkan tubuh, eksistensi tubuh dan ektensi dari tubuh. Biasanya insipirasi muncul dari narasi-narasi kecil di lingkungan sekitar yang bisa saya pelajari kapan dan dalam bentuk apa saja,”ungkapnya.

Bagi reza, berbagai peristiwa dalam kehidupan sehari-hari adalah ‘image’ yang terbentuk. “Bagaimana system dan pola transaksi dalam kehidupan sosial, bukan hanya transaksi ekonomi saja, bisa menjadi begitu penting dan menarik untuk saya gali dan dipresentasikan kembali dalam bentuk suatu karya”.

Keunikan video performance ‘What…’, menurut Reza, terletak pada konteksnya yang masih bisa berlaku hingga saat ini dan beragamnya penilaian yang bisa dihadirkan hanya dengan satu penampilan. “Saya tidak ingin video performance ‘What..’ menghadirkan isu, tema bahkan pesan tertentu. Penilaian atas video itu bisa berbeda-beda dan itu yang saya inginkan,”katanya.

Menurutnya, ‘kejeniusan’ sebuah karya tidak saja berhenti saat dipamerkan. “Eksplorasi medium tidak pernah berhenti hanya sampai karya itu dipamerkan, melainkan hingga ketahapan penilaian dan pembahasan. Dan dengan sendirinya karya itu akan terus secara organik berevolusi,”katanya.

Kehandalan Reza dalam ‘mengolah’ medium inilah yang diduga menjadi dasar dipilihnya ia bersama Arin Dwihartanto Sunaryo untuk mewakili Indonesia dalam pameran di Museum Guggenheim yang berlangsung selama tiga bulan itu.

“Dewan kurator, tim kutorial dan June Yap di Guggenheim Museum, melihat karya video performance art ‘What..’ sebagai sebuah karya yang bisa merefleksikan bentuk eksplorasi medium, bukan hanya berasal dari mana dan dibuat oleh siapa. Sehingga, karya ini bisa dieksplorasi dan diamati berbagai Negara, agama dan perbedaan,”kata Reza yang tergabung dalam organisasi nirlaba Ruangrupa-Jakarta sebagai Koordinator Program Artistik untuk Divisi Laboratorium Seni Rupa.

June Yap sendiri, menurut Reza, tidak secara khusus mencarinya saat mengumpulkan seniman-seniman berbakat Asia yang memiliki karya sesuai dengan tema yang akan ditampilkan di Guggenheim. Meski hubungan keduanya sudah terjalin cukup lama jauh sebelum June Yap memulai ekspedisinya untuk proyek terbaru Guggenheim itu.

Meski sempat bertatap muka, ternyata Reza gagal menunjukkan sejumlah karya-karyanya termasuk video performance art ‘What..’ secara langsung kepada June Yap.  “June Yap hanya mewawancarai seputar proses dan medium karya yang selalu saya buat. Hingga saat June Yap kemudian kembali ke Amerika Serikat, ia teringat dengan video performance ‘What...’,”kata Reza yang menjadikan Yves Klien dan Danny Devos (DDV) sebagai tokoh panutan dalam pembelajaran di wilayah seni performans dan eksplorasi media.

Dalam pandangan Reza, karyanya bisa menjadi bukti bahwa seni dan budaya tidak semerta-merta menjadi jembataan yang bisa ‘dimanfaatkan’ untuk menghubungkan berbagai Negara, agama dan perbedaan.
“Seni dan budaya juga harus berkolaborasi dan berelaborasi dengan berbagai bidang dan disiplin ilmu lain. Dan, bilapun seni menjadi ‘alat’ untuk memecah kebekuan dan perbedaan yang terjadi di wilayah sosial, selama hal itu berakibat baik dan tidak merugikan, maka sepatutnya memang dilakukan. Kenapa tidak, selama tidak ada unsur paksaan,”ungkapnya.

Ini pula yang ditunjukkan Reza dalam video performance art ‘My Chemical Sister (2004)’, yang menggambarkan hubungan antara bahan-bahan kimia dalam kosmetik yang sebagian besar mengandung bahan berbahaya bagi tubuh, dengan pencitraan seorang model yang cantik rupawan sebagai bentuk lain dari rasa sakit.  Bagaimana nafsu manusia untuk mencapai kesempurnaan fisik dapat dikalahkan oleh racun yang secara sengaja dikenakan.

Sebagai seniman, Reza juga tidak pernah takut dalam menyuarakan isi hati, emosi dan pemikirannya. Terutama terhadap para kurator, seperti kolektor seni, pemilik galeri dan berbagai posisi dalam lingkup dunia pasar seni rupa.

“Posisi saya sebagai seniman, terhadap para kurator seni  yang menurut saya tidak menghormati karya dan keprofesian para seniman, tentu akan sangat ‘keras’. Bagi saya bukan sekedar ‘berani’ berhadapan dengan kurator, akan tetapi sudah sepantasnya seorang seniman harus mempunyai posisi dan nilai tawar keilmuan dengan bekal serta pengalaman yang telah dan akan dimilikinya”.

Meski begitu, ia mengaku sangat berhati-hati saat menanggapi masukan dan kritikan dari berbagai pihak khususnya dari dunia tentang image yang akan ia bangun. Ia justru mengaku selalu awas dengan konteks ‘internasional’.

“Tidak sedikit konteks yang dibangun oleh pasar seni rupa tingkat dunia, ternyata tidak memiliki kontribusi pada seni rupa itu sendiri. Kebanyakan malah mubazir, jadi saya memutuskan lebih baik untuk membangun image dari karya dan terus berupaya berkontribusi pada perkembangan seni rupa Indonesia meski dimulai dari wilayah paling kecil”.

Atas prestasinya kali ini, begitu Reza menilainya, meski sangat senang dan bersyukur namun baginya ini bukanlah prestasi puncak. Keberhasilannya ‘mengibarkan’ salah satu karyanya di Guggenheim Museum, tidak lebih sebagai bentuk tanggung jawab secara karier dan disiplin ilmu. “Secara positif, saya menilai pencapaian ini justru membuka peluang untuk mengintropeksi dan mengkritik karya-karya saya selama ini dan yang akan hadir kemudian,”katanya.

Reza juga tidak menutup peluang untuk lebih banyak mengeksplorasi media-media seni lainnya di waktu mendatang. Bagaimanapun, selaku seniman kontemporer ia ‘diwajibkan’ untuk terus mengeksplorasi media lain dalam berkarya.

“Saya harus mengalami eksplorasi medium lain dengan tetap mengembangkan apa yang sudah saya pelajari selama ini, yakni seni performans dan seni video,”kata Reza yang mengaku cukup mengagumi kinerja Ade Darmawan dalam berkreasi, yang kebetulan adalah ‘bos-nya’ di Ruangrupa Jakarta.
Namun, apa yang menjadi pencapaian terbesarnya saat ini? Reza menjawab: “menjadi seorang ayah dari dua orang anak yang menakjubkan”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar