Jumat, 24 Mei 2013

Mendobrak Batasan, Kuratorial Seorang Kolektor

Tiga kolektor ternama Indonesia; Dr.Wiyu Wahono, Paula Dewiyanti, dan Arif Suherman, mendapat kesempatan untuk mengkurasi sebuah pameran seni di Umahseni-Jakarta, 25 April lalu. Tugas yang biasanya dilakukan oleh seorang kurator.

Proyek ini memang diluar kebiasaan. Umumnya, kolektor berkomunikasi dengan seniman yang karyanya ia beli melalui galeri, tanpa ada pertemuan langsung. Kebekuan komunikasi itulah yang ingin dipecahkan Leo Silitonga, pemilik galeri Umahseni-Jakarta, dalam pameran bertajuk ‘Beyond Boundaries: When Collector Curates a Show” yang diadakan pada 25 April 2013.

(ki-ka) Arif Suherman, Davy Linggar, Wimo Ambala Bayang,
Agan Harahap, dan Prof Oh Soon Hwa
“Latar belakang proyek pameran kali ini, didasari atas ketidakpuasan para kolektor dan kurator pada hasil kinerja kedua belah pihak. Harapannya, usai pameran ini kolektor bisa lebih memahami kerja seorang kurator,”kata Leo saat pembukaan pameran. “Namun, proyek ini juga membuka peluang para kolektor untuk menjalin interaksi yang lebih sehat dengan senimannya”.

Sebagai proyek perdana, Leo membebaskan para kolektor untuk memilih seniman yang ingin mereka kurasi karyanya. Tujuannya agar tidak ada intervensi galeri dalam penentuan seniman yang akan dipamerkan nantinya. Dr.Wiyu akhirnya memilih fotografer Agan Harahap setelah melampaui pertimbangan yang mendalam. “Saya memiliki gagasan dan ide yang saya rasa Agan-lah yang mampu menerjemahkannya dalam bentuk suatu karya,”papar Dr.Wiyu.

Kolaborasi keduanya tertuang dalam delapan karya fotografi berjudul ‘Project Mercury’, yang menampilkan foto puncak dan lembah Gunung Takuban Perahu di Jawa Barat, sebagai objek foto. Uniknya, baik Agan maupun Dr.Wiyu, tidak ada yang tahu apakah foto yang ditampilkan menggambarkan puncak atau lembah gunung.

Dengan kejeniusannya, Agan yang pernah meraih nominasi Seni dari Galeri Nasional Indonesia berhasil ‘memanipulasi’ persepsi pengunjung tentang apa itu deskripsi atas-bawah, vertical-horizontal, atau realitas-fiksi.

Agan Harahap, Project Mercury 3, 2013, digital print on neon box, 80 x 26.5 cm, 3 editions (1-3)

“Tujuan utamanya adalah merubah cara pandang pengunjung terhadap sebuah karya fotografi. Foto tidak selalu bersifat objektif hanya karena ia merupakan copy dari realitas. Namun, karya fotografi juga bisa bersifat subjektif. Karena apa yang difoto oleh si fotografer adalah realitas pilihan yang diinginkannya untuk dilihat pengunjung,”kata Dr. Wiyu.

Pendekatan berbeda terjadi antara Paula Dewiyanti dengan Wimo Ambala Bayang. Keduanya sudah saling mengenal melalui media sosial Twitter. Meski menurut Wimo, Paula ‘cukup ceweret jika bicara seni’, namun dalam proses kurasi kali ini konsep karya sepenuhnya diserahkan kepadanya. “Kolaborasi ini bertujuan untuk saling belajar dan saya tidak ingin mengintervensi karya-karyanya. Saya membebaskan Wimo untuk berkreasi, saya hanya membantunya untuk merangkum makna karya yang ia ingin sampaikan,”kata Paula.

Sayangnya dalam pameran kali ini, Wimo seakan-akan tidak bisa membatasi imaginasinya dalam berkarya. Di satu ruang, ia menampilkan karya seni fotografi bertajuk ‘Untitled’ yang memperlihatkan miniature seorang pengantin laki-laki yang bersanding dengan ‘seolah-olah’ pengantin wanita dari berbagai sudut foto. Ia melengkapinya dengan menampilkan huruf-huruf akrilik yang merupakan kutipan Tweet Paula tapi disusun terbalik.

Karya Wimo Ambala Bayang
Di ruangan berbeda, ia menampilkan sebuah video yang menampilkan setitik cahaya putih bergerak cepat di pungung-punggung seng, mengingatkan kita pada bayang-bayang cahaya saat melakukan perjalanan dengan kereta api di malam hari, lengkap dengan suara yang mengingatkan kita pada bunyi ‘ceret air mendidih’. Terakhir, ia menampilkan foto Yesus yang lusuh dan hampir hancur - yang ditemukan di tempat sampah dan dipungutnya - membawa kita bertanya-tanya tentang 'tempat' dimana seharusnya ia berada. 

Terakhir, dua sahabat lama - Arif Suherman dan Davy Linggar – berkolaborasi dalam pameran instalasi bertajuk ‘Conferring Life to A Space’. Berbeda dengan kedua seniman lainnya, Davy memilih untuk keluar dari ikoniknya sebagai fotografer handal dengan menampilkan 12 lukisan yang selintas mengingatkan pengunjung pada objek-objek kehidupan sehari-hari. “Di dalam benak saya berfikir, ‘bagaimana rasanya menjadi ruangan kosong’. Dari sanalah muncul ide untuk memberikan jiwa pada ruangan ini, agar bisa menghidupkan kembali imaginasi orang-orang yang memasukinya,”kata Davy.

Pro Kontra Kuratorial Para Kolektor

Saat menerima tawaran Leo Silitonga, ketiga kolektor memberikan respon yang berbeda. Meski sangat menggelitik rasa keingintahuan mereka, tetapi di sisi lain ikut terbesit rasa kekhawatiran akan penerimaan dari masyarakat seni.  “Saat ditawari yang ada dalam benak saya bagaimana agar karya-karya fotografi juga mendapat perhatian dan kesempatan yang sama seperti karya seni lainnya,”kata Dr.Wiyu. 

Paula menilai proyek ini sebagai sebuah pengalaman baru yang patut dicoba, sekaligus beban. “Ini adalah kesempatan bagi saya untuk mengeksplorasi, bermain imaginasi, dan berkolaborasi bersama seniman dalam membuat karya. Namun saya juga merasa tertekan karena tanggung jawabnya sangat besar,”katanya. Sementara, Arif menjadikan proyek ini sebagai peluang untuk membantu seniman sekaligus sahabat lamanya dalam mengeksplorasi imaginasinya, hingga memiliki lebih banyak inspirasi, dan lebih kritis terhadap karya-karyanya.

Davy Linggar dengan karya lukisannya

Selintas apa yang diutarakan para kolektor yang beralih profesi sebagai kurator terlihat cukup ‘manis’. Ketiganya mengklaim dapat berinteraksi dengan sangat baik bersama senimannya masing-masing, yang kemudian disetujui pula oleh para seniman. Namun bagaimana dengan hasil kuratorial mereka, mampukan mereka menjalani tugas-tugas kuratorial dengan baik?

Tema ini pula yang menjadi inti diskusi selama dua jam bersama para awak media dan pengamat seni. Kuratorial Paula paling banyak disorot akibat minimnya informasi – yang ternyata hanya bagian dari kesalahan teknis akibat katalog yang gagal dicetak. Ia dinilai gagal menjalankan tugasnya sebagai kurator karena tak mampu menyampaikan makna yang ingin disampaikan si seniman, hingga mudah diterima oleh pengunjung.  

Tetapi, Paula sebagai ‘kurator’ pemula dalam pameran ini menolak dinyatakan gagal. Meski ia sendiri juga tidak mengklaim bahwa kuratorialnya berhasil. Menurut Paula, apa yang ia lakukan sangat mendeskripsikan tema pameran kali ini, menembus batas. Ia menolak untuk ‘bersikap’ selayaknya kurator-kurator professional selama ini, yakni menuliskan kuratorial yang dipapar dengan sangat panjang dan mendetail.

“Mengapa saya harus menulis seperti mereka (kurator professional)? Mengapa saya tidak bisa mengekspresikan apa yang saya lakukan bersama Wimo dalam pameran ini? Saya memang sengaja membiarkan tulisan ini menjadi tulisan abstrak,”ujar Paula dengan suara yang menggebu-gebu.

Ia juga enggan melakukan ‘tradisi’ para kurator yang terkesan membatasi cara para pengunjung ‘membaca dan memaknai’ karya-karya seniman. “Mengapa saya harus membatasi apa yang ‘dibaca’ pengunjung dengan isi kuratorial. Inilah inti pameran ‘Beyond the Boundaries’, menembus batas-batas termasuk dalam kuratorial”. Mencoba ‘membela’ kuratornya, Wimo juga mengajak para pengunjung untuk mulai terbuka dengan ide ‘kuratorial sebagai bagian dari seni’.

Dr.Wiyo juga setali seuang dengan pernyataan Paula. Menurutnya, selama ini katalog yang dituliskan kurator kurang banyak memberikan informasi yang dibutuhkan oleh mereka selaku kolektor, maupun pengunjung galeri.  “Saya berharap melalui kuratorial saya, pengunjung dan pembaca katalog bisa mempelajari sesuatu. Jika mereka tidak belajar sesuatu, maka saya gagal dalam mengkurasi pameran,”katanya.

Di akhir diskusi, ketiga kolektor sekaligus kurator itu - Dr.Wiyu, Paula, dan Arif – kompak menolak tuduhan yang mengatakan mereka ingin terlihat jauh lebih hebat dibandingkan kurator professional lainnya dengan menerima tawaran tersebut. “Kami hanya ingin bersenang-senang, membuat sesuatu, mengalami pengalaman baru dan berinteraksi langsung dengan seniman dari awal hingga proses akhir pembuatan karya,”kata Dr.Wiyu.

Kurator tamu dari Universitas Teknologi Nanyang-Singapura, Prof Oh Soon-Hwa, menilai apa yang dikeluhkan para pengunjung atas kuratorial Paula sangat wajar. Namun, ia juga tidak menyalahkan apa yang dilakukan Paula dengan ‘cara barunya’ membuat kurasi. “Bagaimana seseorang memandang hasil kuratorial sangat bergantung siapa dia. Mungkin bagi Paula dan Wimo, mereka menulis bagi audiens seni yang memang mengerti betul tentang seni. Bukan untuk semua orang yang mengunjungi seni, itulah mengapa tulisannya abstrak. Sementara, para pengunjung berharap dengan kuratorial mereka bisa memahami maksud si seniman melalui karyanya,”kata Soon-Hwa.


Dr.Wiyu Wahono (ka) 

Sejarah Kurator Indonesia yang Unik

Menanggapi ‘aksi pemberontakan’ Leo Silitonga melalui pamerannya bertajuk ‘Beyond the Boundaries’, kurator Asikin Hasan menilainya sebagai sesuatu hal yang ‘ketinggalan zaman’.  Dalam dunia seni internasional, seorang kolektor karya seni ternyata cukup banyak yang memainkan multiperan baik sebagai pemilik galeri seni, museum seni maupun kurator. Namun di Indonesia hal tersebut justru dinilai cukup baru meski sering ditemukan.

“Tidak ada peraturan resmi yang mengatakan siapa saja yang berhak menjalani profesi kurator. Siapa saja boleh, termasuk kolektor,”kata Asikin Hasan, mantan wartawan tempo yang sekarang menjadi kurator untuk Galeri Nasional di Jakarta.

Perjalanan kemunculan kurator di Indonesia, menurut Asikin, juga cukup unik. Tidak seperti di Negara-negara maju, mayoritas kurator berlatar belakang pendidikan sejarah seni. Sementara, kurator Indonesia muncul dengan berbagai latar belakang pendidikan dan keahlian. “Kemunculan  kurator di Indonesia, lebih karena kebutuhan. Saat jumlah perupa semakin banyak, pameran juga bertambah banyak khususnya di luar negeri, akhirnya seperti ada kebutuhan khusus akan infrastruktur lain di dunia seni yang disebut kurator,”jabarnya.

Adalah Jim Supangkat, promotor dunia kuratorial di Indonesia. Kesadaran akan kebutuhan kuratorial dimulai saat Jim masih berprofesi sebagai seniman, mulai kerap berpameran ke luar negeri di akhir era 1980-an. "Jika saya membawa seniman-seniman kita berpameran keluar negeri, mereka pasti akan memertanyakan kurasi karya-karya itu,"kata Jim. 


Setelah berdiskusi cukup serius dengan berbagai kurator Amerika, Jim memberanikan diri untuk melabeli diri sebagai kurator independen tepat di tahun 1990. Minusnya insititusi pendidikan sejarah seni di Indonesia memaksa Jim untuk mempelajari teori-teori seni dunia secara otodidak. Upayanya pun berbuah manis, secara perlahan kesadaran akan kebutuhan kurasi pameran mulai menyebar di tanah air. Galeri-galeri komersial yang sebelumnya hanya memajang karya tanpa kurasi apapun, mulai menyewa Jim untuk memaknai karya-karya seniman. "Mereka mulai sadar masyarakat akan lebih mudah mengerti makna pameran jika dibantu kurasi," kata Jim sembari tertawa. 

Perbedaan latar belakang inilah yang akhirnya membuat kurator-kurator Indonesia menjadi unik ketimbang kurator dari Negara lainnya. Bahkan, menurut Asikin, kurator Indonesia jauh lebih kreatif dan hidup karena kurasinya berdasarkan pengalaman di lapangan. “Kurator-kurator Indonesia lebih memahami persoalan isi perutnya, karena sebelumnya dia adalah seorang seniman atau yang dekat dengan proses seni. Berbeda dengan kurator di Negara lain yang cenderung ‘dingin’ karena miskin pengalaman langsung di lapangan. Lebih banyak berinteraksi dengan teori-teori di dalam silabus,”kata Asikin.

Perkembangan kurator Indonesia akhirnya ikut mempengaruhi perkembangan seni di tanah air. Berdasarkan pengamatan Asikin, pameran-pameran seni di Indonesia kini jauh lebih baik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. “Terlihat sekali perkembangannya, jauh lebih baik. Bagi dari segi wacana, katalog, penulisan dan display. Dulu kalau orang datang ke pameran, banyak yang tidak tahu apa artinya. Sekarang pameran sudah dipersiapkan jauh lebih matang dengan katalog yang lebih mudah untuk dipahami,”ujar Asikin.

Saat ini cukup banyak kurator-kurator independen Indonesia yang sudah mendapat pengakuan di dunia. Sebut saja Jim Supangkat dan Enin Supriyanto yang sebelumnya seorang seniman. Agung Hujatnikajenong, lulusan Fakultas Seni Rupa Institut Teknologi Bandung (ITB) namun gemar menulis, dan kini menjadi kurator Selasar Sunaryo.

“Melihat latar belakang sejarah kurator di Indonesia, tidak tertutup kemungkinan satu saat akan ada kolektor di Indonesia yang menjadi kurator, kurator profesional. Namun, serahkan kepada masyarakat untuk menilai bagaimana kinerja mereka sebagai kurator. Saya tidak berhak untuk menilai kelayakan dan kepantasan mereka,”katanya.

Sementara itu kurator dari Universitas Teknologi Nanyang-Singapura, Prof Oh Soon-Hwa, mengingatkan agar para seniman berhati-hati dengan ketidakbakuan sistem infrastruktur di Indonesia. Terutama saat kolektor begitu dekat dengan seniman, yang menurutnya bisa memberikan ancaman besar. Ia mengumpamakannya seperti pisau bermata dua.

“Di satu sisi, proses ini memberikan keuntungan bagi si seniman terutama mereka yang belum memiliki nama. Dengan adanya sokongan kolektor sebagai kuratornya, ia bisa berkarya tanpa harus memikirkan masalah pendanaan. Namun, di sisi lain keterlibatan kolektor yang terlalu mendalam bisa mempengaruhi seniman dan membahayakan kebebasan dan kreatifitasannya,”kata Soon-Hwa yang juga seorang seniman fotografi.

Soon-Hwa juga melihat proyek ini sebagai bukti pengembangan dunia seni Indonesia yang lebih ‘demokrasi’. Para kolektor dapat berinteraksi lebih dekat dengan para seniman, mengenal sang seniman, memahami proses pembuatan karyanya, dan menyelami makna yang dimaksud.  (diedit dan diterbitkan di Sarasvati.co.id)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar