Tiga kolektor ternama Indonesia;
Dr.Wiyu Wahono, Paula Dewiyanti, dan Arif Suherman, mendapat kesempatan untuk
mengkurasi sebuah pameran seni di Umahseni-Jakarta, 25 April lalu. Tugas yang
biasanya dilakukan oleh seorang kurator.
“Latar belakang proyek pameran kali
ini, didasari atas ketidakpuasan para kolektor dan kurator pada hasil kinerja kedua
belah pihak. Harapannya, usai pameran ini kolektor bisa lebih memahami kerja seorang
kurator,”kata Leo saat pembukaan pameran. “Namun, proyek ini juga membuka
peluang para kolektor untuk menjalin interaksi yang lebih sehat dengan
senimannya”.
Di ruangan berbeda, ia menampilkan sebuah
video yang menampilkan setitik cahaya putih bergerak cepat di pungung-punggung
seng, mengingatkan kita pada bayang-bayang cahaya saat melakukan perjalanan
dengan kereta api di malam hari, lengkap dengan suara yang mengingatkan kita
pada bunyi ‘ceret air mendidih’. Terakhir, ia menampilkan foto Yesus yang lusuh dan hampir hancur - yang ditemukan di tempat sampah dan dipungutnya - membawa kita bertanya-tanya tentang 'tempat' dimana seharusnya ia berada.
Selintas apa yang diutarakan para kolektor yang beralih profesi sebagai kurator terlihat cukup ‘manis’. Ketiganya mengklaim dapat berinteraksi dengan sangat baik bersama senimannya masing-masing, yang kemudian disetujui pula oleh para seniman. Namun bagaimana dengan hasil kuratorial mereka, mampukan mereka menjalani tugas-tugas kuratorial dengan baik?
Adalah Jim Supangkat, promotor dunia kuratorial di Indonesia. Kesadaran akan kebutuhan kuratorial dimulai saat Jim masih berprofesi sebagai seniman, mulai kerap berpameran ke luar negeri di akhir era 1980-an. "Jika saya membawa seniman-seniman kita berpameran keluar negeri, mereka pasti akan memertanyakan kurasi karya-karya itu,"kata Jim.
Proyek ini memang diluar kebiasaan.
Umumnya, kolektor berkomunikasi dengan seniman yang karyanya ia beli melalui galeri,
tanpa ada pertemuan langsung. Kebekuan komunikasi itulah yang ingin dipecahkan
Leo Silitonga, pemilik galeri Umahseni-Jakarta, dalam pameran bertajuk ‘Beyond
Boundaries: When Collector Curates a Show” yang diadakan pada 25 April 2013.
(ki-ka) Arif Suherman, Davy Linggar, Wimo Ambala Bayang, Agan Harahap, dan Prof Oh Soon Hwa |
Sebagai proyek perdana, Leo
membebaskan para kolektor untuk memilih seniman yang ingin mereka kurasi
karyanya. Tujuannya agar tidak ada intervensi galeri dalam penentuan seniman
yang akan dipamerkan nantinya. Dr.Wiyu akhirnya memilih fotografer Agan Harahap
setelah melampaui pertimbangan yang mendalam. “Saya memiliki gagasan dan ide
yang saya rasa Agan-lah yang mampu menerjemahkannya dalam bentuk suatu
karya,”papar Dr.Wiyu.
Kolaborasi keduanya tertuang dalam
delapan karya fotografi berjudul ‘Project Mercury’, yang menampilkan foto puncak
dan lembah Gunung Takuban Perahu di Jawa Barat, sebagai objek foto. Uniknya,
baik Agan maupun Dr.Wiyu, tidak ada yang tahu apakah foto yang ditampilkan
menggambarkan puncak atau lembah gunung.
Dengan kejeniusannya, Agan yang
pernah meraih nominasi Seni dari Galeri Nasional Indonesia berhasil ‘memanipulasi’
persepsi pengunjung tentang apa itu deskripsi atas-bawah, vertical-horizontal,
atau realitas-fiksi.
Agan Harahap, Project Mercury 3, 2013, digital print on neon box, 80 x 26.5 cm, 3 editions (1-3)
“Tujuan utamanya adalah merubah
cara pandang pengunjung terhadap sebuah karya fotografi. Foto tidak selalu
bersifat objektif hanya karena ia merupakan copy
dari realitas. Namun, karya fotografi juga bisa bersifat subjektif. Karena
apa yang difoto oleh si fotografer adalah realitas pilihan yang diinginkannya
untuk dilihat pengunjung,”kata Dr. Wiyu.
Pendekatan berbeda terjadi antara Paula
Dewiyanti dengan Wimo Ambala Bayang. Keduanya sudah saling mengenal melalui
media sosial Twitter. Meski menurut Wimo, Paula ‘cukup ceweret jika bicara seni’,
namun dalam proses kurasi kali ini konsep karya sepenuhnya diserahkan kepadanya.
“Kolaborasi ini bertujuan untuk saling belajar dan saya tidak ingin
mengintervensi karya-karyanya. Saya membebaskan Wimo untuk berkreasi, saya
hanya membantunya untuk merangkum makna karya yang ia ingin sampaikan,”kata
Paula.
Sayangnya dalam pameran kali ini, Wimo
seakan-akan tidak bisa membatasi imaginasinya dalam berkarya. Di satu ruang, ia
menampilkan karya seni fotografi bertajuk ‘Untitled’ yang memperlihatkan
miniature seorang pengantin laki-laki yang bersanding dengan ‘seolah-olah’
pengantin wanita dari berbagai sudut foto. Ia melengkapinya dengan menampilkan huruf-huruf
akrilik yang merupakan kutipan Tweet Paula tapi disusun terbalik.
Karya Wimo Ambala Bayang |
Terakhir, dua sahabat lama - Arif
Suherman dan Davy Linggar – berkolaborasi dalam pameran instalasi bertajuk ‘Conferring
Life to A Space’. Berbeda dengan kedua seniman lainnya, Davy memilih untuk
keluar dari ikoniknya sebagai fotografer handal dengan menampilkan 12 lukisan yang
selintas mengingatkan pengunjung pada objek-objek kehidupan sehari-hari. “Di
dalam benak saya berfikir, ‘bagaimana rasanya menjadi ruangan kosong’. Dari
sanalah muncul ide untuk memberikan jiwa pada ruangan ini, agar bisa
menghidupkan kembali imaginasi orang-orang yang memasukinya,”kata Davy.
Pro Kontra Kuratorial Para Kolektor
Saat menerima tawaran Leo
Silitonga, ketiga kolektor memberikan respon yang berbeda. Meski sangat menggelitik
rasa keingintahuan mereka, tetapi di sisi lain ikut terbesit rasa kekhawatiran
akan penerimaan dari masyarakat seni. “Saat
ditawari yang ada dalam benak saya bagaimana agar karya-karya fotografi juga
mendapat perhatian dan kesempatan yang sama seperti karya seni lainnya,”kata
Dr.Wiyu.
Paula menilai proyek ini sebagai
sebuah pengalaman baru yang patut dicoba, sekaligus beban. “Ini adalah
kesempatan bagi saya untuk mengeksplorasi, bermain imaginasi, dan berkolaborasi
bersama seniman dalam membuat karya. Namun saya juga merasa tertekan karena
tanggung jawabnya sangat besar,”katanya. Sementara, Arif menjadikan proyek ini
sebagai peluang untuk membantu seniman sekaligus sahabat lamanya dalam
mengeksplorasi imaginasinya, hingga memiliki lebih banyak inspirasi, dan lebih kritis
terhadap karya-karyanya.
Davy Linggar dengan karya lukisannya
Selintas apa yang diutarakan para kolektor yang beralih profesi sebagai kurator terlihat cukup ‘manis’. Ketiganya mengklaim dapat berinteraksi dengan sangat baik bersama senimannya masing-masing, yang kemudian disetujui pula oleh para seniman. Namun bagaimana dengan hasil kuratorial mereka, mampukan mereka menjalani tugas-tugas kuratorial dengan baik?
Tema ini pula yang menjadi inti
diskusi selama dua jam bersama para awak media dan pengamat seni. Kuratorial
Paula paling banyak disorot akibat minimnya informasi – yang ternyata hanya
bagian dari kesalahan teknis akibat katalog yang gagal dicetak. Ia dinilai gagal
menjalankan tugasnya sebagai kurator karena tak mampu menyampaikan makna yang
ingin disampaikan si seniman, hingga mudah diterima oleh pengunjung.
Tetapi, Paula sebagai ‘kurator’
pemula dalam pameran ini menolak dinyatakan gagal. Meski ia sendiri juga tidak
mengklaim bahwa kuratorialnya berhasil. Menurut Paula, apa yang ia lakukan sangat
mendeskripsikan tema pameran kali ini, menembus batas. Ia menolak untuk ‘bersikap’
selayaknya kurator-kurator professional selama ini, yakni menuliskan kuratorial
yang dipapar dengan sangat panjang dan mendetail.
“Mengapa saya harus menulis seperti
mereka (kurator professional)? Mengapa saya tidak bisa mengekspresikan apa yang
saya lakukan bersama Wimo dalam pameran ini? Saya memang sengaja membiarkan
tulisan ini menjadi tulisan abstrak,”ujar Paula dengan suara yang
menggebu-gebu.
Ia juga enggan melakukan ‘tradisi’
para kurator yang terkesan membatasi cara para pengunjung ‘membaca dan
memaknai’ karya-karya seniman. “Mengapa saya harus membatasi apa yang ‘dibaca’
pengunjung dengan isi kuratorial. Inilah inti pameran ‘Beyond the Boundaries’,
menembus batas-batas termasuk dalam kuratorial”. Mencoba ‘membela’ kuratornya,
Wimo juga mengajak para pengunjung untuk mulai terbuka dengan ide ‘kuratorial
sebagai bagian dari seni’.
Dr.Wiyo juga setali seuang dengan
pernyataan Paula. Menurutnya, selama ini katalog yang dituliskan kurator kurang
banyak memberikan informasi yang dibutuhkan oleh mereka selaku kolektor, maupun
pengunjung galeri. “Saya berharap
melalui kuratorial saya, pengunjung dan pembaca katalog bisa mempelajari
sesuatu. Jika mereka tidak belajar sesuatu, maka saya gagal dalam mengkurasi pameran,”katanya.
Di akhir diskusi, ketiga kolektor
sekaligus kurator itu - Dr.Wiyu, Paula, dan Arif – kompak menolak tuduhan yang
mengatakan mereka ingin terlihat jauh lebih hebat dibandingkan kurator
professional lainnya dengan menerima tawaran tersebut. “Kami hanya ingin
bersenang-senang, membuat sesuatu, mengalami pengalaman baru dan berinteraksi
langsung dengan seniman dari awal hingga proses akhir pembuatan karya,”kata
Dr.Wiyu.
Kurator tamu dari Universitas
Teknologi Nanyang-Singapura, Prof Oh Soon-Hwa, menilai apa yang dikeluhkan para
pengunjung atas kuratorial Paula sangat wajar. Namun, ia juga tidak menyalahkan
apa yang dilakukan Paula dengan ‘cara barunya’ membuat kurasi. “Bagaimana
seseorang memandang hasil kuratorial sangat bergantung siapa dia. Mungkin bagi
Paula dan Wimo, mereka menulis bagi audiens seni yang memang mengerti betul
tentang seni. Bukan untuk semua orang yang mengunjungi seni, itulah mengapa
tulisannya abstrak. Sementara, para pengunjung berharap dengan kuratorial
mereka bisa memahami maksud si seniman melalui karyanya,”kata Soon-Hwa.
Sejarah Kurator Indonesia yang Unik
Menanggapi ‘aksi pemberontakan’ Leo
Silitonga melalui pamerannya bertajuk ‘Beyond the Boundaries’, kurator Asikin
Hasan menilainya sebagai sesuatu hal yang ‘ketinggalan zaman’. Dalam dunia seni internasional, seorang
kolektor karya seni ternyata cukup banyak yang memainkan multiperan baik
sebagai pemilik galeri seni, museum seni maupun kurator. Namun di Indonesia hal
tersebut justru dinilai cukup baru meski sering ditemukan.
“Tidak ada peraturan resmi yang
mengatakan siapa saja yang berhak menjalani profesi kurator. Siapa saja boleh,
termasuk kolektor,”kata Asikin Hasan, mantan wartawan tempo yang sekarang
menjadi kurator untuk Galeri Nasional di Jakarta.
Perjalanan kemunculan kurator di
Indonesia, menurut Asikin, juga cukup unik. Tidak seperti di Negara-negara
maju, mayoritas kurator berlatar belakang pendidikan sejarah seni. Sementara, kurator
Indonesia muncul dengan berbagai latar belakang pendidikan dan keahlian. “Kemunculan
kurator di Indonesia, lebih karena
kebutuhan. Saat jumlah perupa semakin banyak, pameran juga bertambah banyak
khususnya di luar negeri, akhirnya seperti ada kebutuhan khusus akan
infrastruktur lain di dunia seni yang disebut kurator,”jabarnya.
Adalah Jim Supangkat, promotor dunia kuratorial di Indonesia. Kesadaran akan kebutuhan kuratorial dimulai saat Jim masih berprofesi sebagai seniman, mulai kerap berpameran ke luar negeri di akhir era 1980-an. "Jika saya membawa seniman-seniman kita berpameran keluar negeri, mereka pasti akan memertanyakan kurasi karya-karya itu,"kata Jim.
Setelah
berdiskusi cukup serius dengan berbagai kurator Amerika, Jim memberanikan diri untuk
melabeli diri sebagai kurator independen tepat di tahun 1990. Minusnya
insititusi pendidikan sejarah seni di Indonesia memaksa Jim untuk mempelajari teori-teori
seni dunia secara otodidak. Upayanya pun berbuah manis, secara perlahan
kesadaran akan kebutuhan kurasi pameran mulai menyebar di tanah air. Galeri-galeri
komersial yang sebelumnya hanya memajang karya tanpa kurasi apapun, mulai
menyewa Jim untuk memaknai karya-karya seniman. "Mereka mulai sadar
masyarakat akan lebih mudah mengerti makna pameran jika dibantu kurasi,"
kata Jim sembari tertawa.
Perbedaan latar belakang inilah yang akhirnya membuat kurator-kurator
Indonesia menjadi unik ketimbang kurator dari Negara lainnya. Bahkan, menurut
Asikin, kurator Indonesia jauh lebih kreatif dan hidup karena kurasinya
berdasarkan pengalaman di lapangan. “Kurator-kurator Indonesia lebih memahami
persoalan isi perutnya, karena sebelumnya dia adalah seorang seniman atau yang
dekat dengan proses seni. Berbeda dengan kurator di Negara lain yang cenderung
‘dingin’ karena miskin pengalaman langsung di lapangan. Lebih banyak
berinteraksi dengan teori-teori di dalam silabus,”kata Asikin.
Perkembangan kurator Indonesia akhirnya ikut mempengaruhi perkembangan
seni di tanah air. Berdasarkan pengamatan Asikin, pameran-pameran seni di
Indonesia kini jauh lebih baik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. “Terlihat
sekali perkembangannya, jauh lebih baik. Bagi dari segi wacana, katalog,
penulisan dan display. Dulu kalau orang datang ke pameran, banyak yang tidak
tahu apa artinya. Sekarang pameran sudah dipersiapkan jauh lebih matang dengan
katalog yang lebih mudah untuk dipahami,”ujar Asikin.
Saat ini cukup banyak kurator-kurator independen Indonesia yang sudah
mendapat pengakuan di dunia. Sebut saja Jim Supangkat dan Enin Supriyanto yang
sebelumnya seorang seniman. Agung Hujatnikajenong, lulusan Fakultas Seni Rupa
Institut Teknologi Bandung (ITB) namun gemar menulis, dan kini menjadi kurator
Selasar Sunaryo.
“Melihat latar belakang sejarah kurator di Indonesia, tidak tertutup
kemungkinan satu saat akan ada kolektor di Indonesia yang menjadi kurator,
kurator profesional. Namun, serahkan kepada masyarakat untuk menilai bagaimana
kinerja mereka sebagai kurator. Saya tidak berhak untuk menilai kelayakan dan
kepantasan mereka,”katanya.
Sementara itu kurator dari
Universitas Teknologi Nanyang-Singapura, Prof Oh Soon-Hwa, mengingatkan agar
para seniman berhati-hati dengan ketidakbakuan sistem infrastruktur di
Indonesia. Terutama saat kolektor begitu dekat dengan seniman, yang menurutnya
bisa memberikan ancaman besar. Ia mengumpamakannya seperti pisau bermata dua.
“Di satu sisi, proses ini
memberikan keuntungan bagi si seniman terutama mereka yang belum memiliki nama.
Dengan adanya sokongan kolektor sebagai kuratornya, ia bisa berkarya tanpa
harus memikirkan masalah pendanaan. Namun, di sisi lain keterlibatan kolektor
yang terlalu mendalam bisa mempengaruhi seniman dan membahayakan kebebasan dan
kreatifitasannya,”kata Soon-Hwa yang juga seorang seniman fotografi.
Soon-Hwa juga melihat proyek ini
sebagai bukti pengembangan dunia seni Indonesia yang lebih ‘demokrasi’. Para
kolektor dapat berinteraksi lebih dekat dengan para seniman, mengenal sang
seniman, memahami proses pembuatan karyanya, dan menyelami makna yang dimaksud. (diedit dan diterbitkan di Sarasvati.co.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar