Agus Heru Setiawan bersama salah satu penjual tanaman hias, Ibu Mul, yang ikut menyumbang tanaman |
Kematian tak selalu bicara tentang rasa duka, kesedihan dan ketakutan.
Namun kematian juga mengandung keindahan, rasa hormat, dan kenangan (memori).
Sisi lain dari kematian itulah yang ingin ditunjukkan seniman fotografi muda
asal Yogyakarta, Agus Heru Setyawan, dalam pameran solonya di galeri Garis
Artspace Jakarta yang mengangkat tema ‘Museum of Dead Trees (Museum Pohon
Mati)’ dan dikurasi oleh Angki Purbandono dan Hermanto Soerjanto.
Saat memasuki ruang pameran yang berlangsung sejak 4 Mei
hingga 14 Mei itu, pengunjung langsung disambut oleh gelembung-gelembung indah yang
memantulkan warna pelangi. Dari tengah gelembung muncul bayang-bayang tanaman
yang tampak kering, tak berdaun, dan layu meski masih dalam keadaan utuh dengan
akar. Selintas gelembung-gelembung itu terlihat bagaikan kantung rahim yang
tengah melindungi janin.
“Saya selalu menginginkan kematian yang indah untuk
dikenang. Dan, melalui kekuatan fotografi kematian yang sering digambarkan
dengan rasa sakit, kegelapan dan ketakutan berubah menjadi sesuatu yang indah.
Tanaman-tanaman itu telah membuktikan bahwa kematian mereka bisa menjadi
sesuatu yang indah melalui tangkapan kamera,”kata Heru begitu sapaan akrabnya.
Heru percaya bahwa seburuk apapun objek yang ditangkap
kamera, tidak akan pernah terlihat buruk. Seperti yang disampaikan William
Henry Fox, penemu teknik fotografi ‘Calotype –diambil dari kata calos yang berarti
indah – bahwa selalu akan ada keindahan dalam fotografi .
“Saya sangat mempercayai cara pandang Fox, meski akan ada perdebatan
panjang antar teorisi fotografi akan konstruksi keindahan dalam dunia
fotografi. Tapi bagi saya, fotografi akan selalu memberi keindahan. Dan, saat
mereka digunakan untuk merekam kematian, maka kematian pun bisa menjadi
indah,”kata Heru yang mengenyam pendidikan senirupa di Fakultas Fotografi,
Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta pada tahun 2006.
Sebagai seorang fotografer, Heru paham bahwa kamera tidak
saja berfungsi untuk menangkap pencitraan suatu benda untuk kemudian mengabadikannya
di dalam kertas foto untuk dinikmati. Namun, baginya kamera adalah media
terbaik untuk merekam suatu peristiwa ataupun suatu benda sehingga layak
menjadi kenangan.
“Melalui foto kita bisa mengungkit kenangan seseorang akan
kejadian tertentu, mengembalikan hal yang sudah pernah hilang, salah satunya oleh
kematian. Dan, melalui pameran ini saya ingin menyajikan karya seni fotografi
sebagai anti-tesis dari kematian itu sendiri,”katanya.
Agus Heru Setiawan, Museum of Dead Trees #1, digital print on acrylic sheet - neon box installation, 2012, 40 x 40 cm (8 panels) |
Menggunakan tanaman-tanaman mati yang umum ditemukan di
kehidupan sehari-hari – seperti benih pohon rambutan, papaya, selada ataupun
cabai – Heru mencoba mengingatkan para pengunjung pada pentingnya peranan tanaman
dalam kehidupan manusia. Betapa manusia sangat bergantungnya pada keberadaannya.
Dan, jika hubungan antar keduanya terganggu maka manusia akan dihadapkan pada
bencana besar.
“Contoh kecil saja, tanaman adalah sumber makanan manusia
yang terbesar. Ia juga menjadi penyeimbang antara kadar karbondioksida dan
oksigen di udara. Jelas bahwa keduanya tidak dapat dipisahkan dengan mudah. Nah,
sekarang coba bayangkan dunia ini tanpa tanaman,”ajak Heru. “Tapi saat ini
manusia sudah lupa. Mereka tidak menyadari besarnya potensi yang diberikan
tanaman pada manusia. Manusia modern mulai cenderung tidak peduli dan bersikap
tidak adil pada tumbuh-tumbuhan”.
Padahal di masa lalu, kata Heru, hubungan manusia dan
tumbuhan terjalin dengan indah, adil, dan rasa hormat. Hal itu bisa dilihat
dari peranan tumbuh-tumbuhan terutama bunga, dalam berbagai kegiatan tradisi
maupun spiritual. Tumbuh-tumbuhan juga kerap menjadi simbol penting dalam
berbagai filosofi Jawa.
“Budaya Jawa yang kaya akan nilai-nilai luhur dan filosofi,
kerap menjadikan tumbuh-tumbuhan sebagai simbol. Misalnya, bagaimana manusia
diminta untuk bisa bersikap seperti pohon kelapa yang seluruh bagiannya bisa
memberikan manfaat bagi makhluk lainnya. Ataupun kerendahan hati yang
ditunjukkan melalui batang padi yang kian terisi kian merunduk,”jabar Heru.
Menggunakan tumbuh-tumbuhan sebagai objek foto, bukanlah hal
yang baru bagi Heru. Tahun 2012, Heru juga menampilkan foto-foto benih tumbuhan
dalam pameran bertajuk ‘Hyperfocal Distance’ yang digelar di Bentara Budaya
Yogyakarta. Kecintaannya pada tumbuh-tumbuhan – dan kegiatan menanam – menjadi
salah satu pendorong mengapa ia menampilkan karya-karya tersebut.
Namun, besarnya masalah lingkungan terkait dengan keberadaan
tumbuh-tumbuhan saat ini, mendorongnya untuk berbuat sesuatu. “Saya bergaul
dengan teman-teman yang memiliki kepedulian tinggi pada tumbuh-tumbuhan. Mereka
juga memiliki real action yang bisa menggerakkan masyarakat sekitar untuk giat
menyelamatkan lingkungan. Lalu saya berfikir, sebagai seniman apa yang bisa
saya berikan? Mengapa saya tidak menjadikan keahlian saya sebagai fotografer
untuk memediasi isu ini. Saya pikir hal itu bisa sangat membantu,”ujarnya.
Ia pun memberi tajuk yang cukup unik untuk pamerannya kali
ini, museum untuk tanaman-tanaman mati. Baginya pemilihan kata ‘Museum’ bukan
sekedar sebagai ruang pameran semata. Namun layaknya sebuah museum profesional,
lengkap dengan proses pencarian – pengumpulan – pemilihan – penyajian artefak yang diikuti dengan proses kurasi – ia
ingin menjadikan pameran kali ini juga memiliki proses yang sama.
“Seperti yang kita ketahui, fotografi adalah media
komunikasi. Dan, disini saya berperan sebagai komunikator dimana museum dapat
berfungsi sebagai forum diskusi yang kembali menjalin hubungan antara
tumbuh-tumbuhan yang mati dengan para pengunjung sebagai perwakilan
manusia,”katanya. “Saya ingin menjadikan ‘museum pribadi’ ini menjadi pusat
pengetahuan, bagian dari upaya konservasi dan untuk mengawetkan,”ujarnya.
Dimulai pada 2011, ia mulai mengoleksi tanaman-tanaman mati
untuk kemudian diabadikan dalam foto. Awalnya hanya tanaman-tanaman dari
halaman rumahnya sendiri kemudian ia mulai mencari ke lingkungan di sekitarnya.
“Setiap saya menemukan tanaman mati yang menurut saya memiliki nilai artistic,
langsung difoto. Tapi lama-lama jenis tanaman yang difoto kian susah
didapatkan. Saya pun mencarinya ke pasar-pasar tanaman yang ada di
Jogja,”kisahnya.
Proses pembuatan karya dengan menggunakan gelembung plastik tiup, mainan anak-anak |
Persiapan pameran ini diperkirakan menghabiskan waktu lebih
dari satu tahun. Mulai dari proses pencarian, pengumpulan, termasuk mencari
elemen-elemen pendukung, proses pemotretan hingga saat foto yang sudah dicetak
diletakkan di dalam bingkai (frame). Ia pun memilih gelembung plastic
transparan sebagai elemen penunjang keindahan dalam karyanya.
“Saya memiliki kenangan indah dengan mainan yang cukup
popular saat kecil dulu. Balon tiup yang berbahan dasar plastik atau cairan
lem. Dan saya sangat terkejut saat mainan itu masih ditemukan saat ini. Balon
tiup itu menjadi simbol kenangan indah bagi saya,”kata Heru yang meraih gelar
master di bidang Antropologi.
Dalam proses pemotretan, Heru tidak menggunakan teknik
khusus. Justru teknik yang ia gunakan sangat sederhana. Tanaman mati yang sudah
ditata secara artistic ditimpa dengan beberapa lapisan gelembung plastic.
Kemudian baru dipotret secara back light.
“Sinar dari kamera ini kemudian memunculkan warna-warna pelangi ketika
difoto. Namun, hal yang tersulit dalam pembuatannya adalah meniup gelembung
plastic yang ukurannya bisa menutupi tanaman mati yang dijadikan objek.
Terutama karena gelembung plastic ini sangat tipis, sehingga sangat mudah untuk
robek dan meledak,”katanya.
Meski demikian, Heru mengaku sangat menikmati proses
pembuatan karya-karyanya kali ini yang berjumlah lebih dari 40 foto itu.
Terutama saat ia bertemu langsung dan berbagi cerita dengan para pemilik
ataupun penjual tanaman mati itu. “Masing-masing tanaman yang ditampilkan
memiliki ceritanya sendiri. Bagaimana para penjual tanaman tertawa saat saya
mencari tanaman mati untuk difoto, namun tetap bersedia membantu. Hingga
ekspresi keterkejutan dan kepuasaan saat melihat hasil akhir foto,”ujarnya.
Kedepan, Heru berharap ia benar-benar bisa mendirikan
‘museum’-nya sendiri. Dengan begitu cita-citanya untuk melakukan aksi nyata
untuk menyelamatkan lingkungan terutama tanaman, bisa tercapai. “Saya berharap
akan segera menemukan tempat yang bisa menampung hasrat ini. Tujuannya cukup
sederhana, yakni sebagai media untuk mengingatkan kembali bahwa lingkaran
kehidupan manusia dengan makhluk hidup lainnya di bumi harus terjalin dengan
harmonis,”tutupnya. Diedit dan diterbitkan di Sarasvati.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar