Jumat, 24 Mei 2013

Mengabadikan Kematian Dengan Indah


Agus Heru Setiawan bersama salah satu
penjual tanaman hias, Ibu Mul, yang ikut menyumbang tanaman
Kematian tak selalu bicara tentang rasa duka, kesedihan dan ketakutan. Namun kematian juga mengandung keindahan, rasa hormat, dan kenangan (memori). Sisi lain dari kematian itulah yang ingin ditunjukkan seniman fotografi muda asal Yogyakarta, Agus Heru Setyawan, dalam pameran solonya di galeri Garis Artspace Jakarta yang mengangkat tema ‘Museum of Dead Trees (Museum Pohon Mati)’ dan dikurasi oleh Angki Purbandono dan Hermanto Soerjanto.

Saat memasuki ruang pameran yang berlangsung sejak 4 Mei hingga 14 Mei itu, pengunjung langsung disambut oleh gelembung-gelembung indah yang memantulkan warna pelangi. Dari tengah gelembung muncul bayang-bayang tanaman yang tampak kering, tak berdaun, dan layu meski masih dalam keadaan utuh dengan akar. Selintas gelembung-gelembung itu terlihat bagaikan kantung rahim yang tengah melindungi janin.

“Saya selalu menginginkan kematian yang indah untuk dikenang. Dan, melalui kekuatan fotografi kematian yang sering digambarkan dengan rasa sakit, kegelapan dan ketakutan berubah menjadi sesuatu yang indah. Tanaman-tanaman itu telah membuktikan bahwa kematian mereka bisa menjadi sesuatu yang indah melalui tangkapan kamera,”kata Heru begitu sapaan akrabnya.

Heru percaya bahwa seburuk apapun objek yang ditangkap kamera, tidak akan pernah terlihat buruk. Seperti yang disampaikan William Henry Fox, penemu teknik fotografi ‘Calotype –diambil dari kata calos yang berarti indah – bahwa selalu akan ada keindahan dalam fotografi .

“Saya sangat mempercayai cara pandang Fox, meski akan ada perdebatan panjang antar teorisi fotografi akan konstruksi keindahan dalam dunia fotografi. Tapi bagi saya, fotografi akan selalu memberi keindahan. Dan, saat mereka digunakan untuk merekam kematian, maka kematian pun bisa menjadi indah,”kata Heru yang mengenyam pendidikan senirupa di Fakultas Fotografi, Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta pada tahun 2006.

Sebagai seorang fotografer, Heru paham bahwa kamera tidak saja berfungsi untuk menangkap pencitraan suatu benda untuk kemudian mengabadikannya di dalam kertas foto untuk dinikmati. Namun, baginya kamera adalah media terbaik untuk merekam suatu peristiwa ataupun suatu benda sehingga layak menjadi kenangan.

“Melalui foto kita bisa mengungkit kenangan seseorang akan kejadian tertentu, mengembalikan hal yang sudah pernah hilang, salah satunya oleh kematian. Dan, melalui pameran ini saya ingin menyajikan karya seni fotografi sebagai anti-tesis dari kematian itu sendiri,”katanya.

Agus Heru Setiawan, Museum of Dead Trees #1,
digital print on acrylic sheet - neon box installation,
2012, 40 x 40 cm (8 panels)
Menggunakan tanaman-tanaman mati yang umum ditemukan di kehidupan sehari-hari – seperti benih pohon rambutan, papaya, selada ataupun cabai – Heru mencoba mengingatkan para pengunjung pada pentingnya peranan tanaman dalam kehidupan manusia. Betapa manusia sangat bergantungnya pada keberadaannya. Dan, jika hubungan antar keduanya terganggu maka manusia akan dihadapkan pada bencana besar.

“Contoh kecil saja, tanaman adalah sumber makanan manusia yang terbesar. Ia juga menjadi penyeimbang antara kadar karbondioksida dan oksigen di udara. Jelas bahwa keduanya tidak dapat dipisahkan dengan mudah. Nah, sekarang coba bayangkan dunia ini tanpa tanaman,”ajak Heru. “Tapi saat ini manusia sudah lupa. Mereka tidak menyadari besarnya potensi yang diberikan tanaman pada manusia. Manusia modern mulai cenderung tidak peduli dan bersikap tidak adil pada tumbuh-tumbuhan”.

Padahal di masa lalu, kata Heru, hubungan manusia dan tumbuhan terjalin dengan indah, adil, dan rasa hormat. Hal itu bisa dilihat dari peranan tumbuh-tumbuhan terutama bunga, dalam berbagai kegiatan tradisi maupun spiritual. Tumbuh-tumbuhan juga kerap menjadi simbol penting dalam berbagai filosofi Jawa.

“Budaya Jawa yang kaya akan nilai-nilai luhur dan filosofi, kerap menjadikan tumbuh-tumbuhan sebagai simbol. Misalnya, bagaimana manusia diminta untuk bisa bersikap seperti pohon kelapa yang seluruh bagiannya bisa memberikan manfaat bagi makhluk lainnya. Ataupun kerendahan hati yang ditunjukkan melalui batang padi yang kian terisi kian merunduk,”jabar Heru.

Menggunakan tumbuh-tumbuhan sebagai objek foto, bukanlah hal yang baru bagi Heru. Tahun 2012, Heru juga menampilkan foto-foto benih tumbuhan dalam pameran bertajuk ‘Hyperfocal Distance’ yang digelar di Bentara Budaya Yogyakarta. Kecintaannya pada tumbuh-tumbuhan – dan kegiatan menanam – menjadi salah satu pendorong mengapa ia menampilkan karya-karya tersebut.
  
Namun, besarnya masalah lingkungan terkait dengan keberadaan tumbuh-tumbuhan saat ini, mendorongnya untuk berbuat sesuatu. “Saya bergaul dengan teman-teman yang memiliki kepedulian tinggi pada tumbuh-tumbuhan. Mereka juga memiliki real action yang bisa menggerakkan masyarakat sekitar untuk giat menyelamatkan lingkungan. Lalu saya berfikir, sebagai seniman apa yang bisa saya berikan? Mengapa saya tidak menjadikan keahlian saya sebagai fotografer untuk memediasi isu ini. Saya pikir hal itu bisa sangat membantu,”ujarnya.

Ia pun memberi tajuk yang cukup unik untuk pamerannya kali ini, museum untuk tanaman-tanaman mati. Baginya pemilihan kata ‘Museum’ bukan sekedar sebagai ruang pameran semata. Namun layaknya sebuah museum profesional, lengkap dengan proses pencarian – pengumpulan – pemilihan – penyajian  artefak yang diikuti dengan proses kurasi – ia ingin menjadikan pameran kali ini juga memiliki proses yang sama.

“Seperti yang kita ketahui, fotografi adalah media komunikasi. Dan, disini saya berperan sebagai komunikator dimana museum dapat berfungsi sebagai forum diskusi yang kembali menjalin hubungan antara tumbuh-tumbuhan yang mati dengan para pengunjung sebagai perwakilan manusia,”katanya. “Saya ingin menjadikan ‘museum pribadi’ ini menjadi pusat pengetahuan, bagian dari upaya konservasi dan untuk mengawetkan,”ujarnya.

Dimulai pada 2011, ia mulai mengoleksi tanaman-tanaman mati untuk kemudian diabadikan dalam foto. Awalnya hanya tanaman-tanaman dari halaman rumahnya sendiri kemudian ia mulai mencari ke lingkungan di sekitarnya. “Setiap saya menemukan tanaman mati yang menurut saya memiliki nilai artistic, langsung difoto. Tapi lama-lama jenis tanaman yang difoto kian susah didapatkan. Saya pun mencarinya ke pasar-pasar tanaman yang ada di Jogja,”kisahnya.

Proses pembuatan karya dengan menggunakan
gelembung plastik tiup, mainan
anak-anak
Persiapan pameran ini diperkirakan menghabiskan waktu lebih dari satu tahun. Mulai dari proses pencarian, pengumpulan, termasuk mencari elemen-elemen pendukung, proses pemotretan hingga saat foto yang sudah dicetak diletakkan di dalam bingkai (frame). Ia pun memilih gelembung plastic transparan sebagai elemen penunjang keindahan dalam karyanya.

“Saya memiliki kenangan indah dengan mainan yang cukup popular saat kecil dulu. Balon tiup yang berbahan dasar plastik atau cairan lem. Dan saya sangat terkejut saat mainan itu masih ditemukan saat ini. Balon tiup itu menjadi simbol kenangan indah bagi saya,”kata Heru yang meraih gelar master di bidang Antropologi.

Dalam proses pemotretan, Heru tidak menggunakan teknik khusus. Justru teknik yang ia gunakan sangat sederhana. Tanaman mati yang sudah ditata secara artistic ditimpa dengan beberapa lapisan gelembung plastic. Kemudian baru dipotret secara back light.  “Sinar dari kamera ini kemudian memunculkan warna-warna pelangi ketika difoto. Namun, hal yang tersulit dalam pembuatannya adalah meniup gelembung plastic yang ukurannya bisa menutupi tanaman mati yang dijadikan objek. Terutama karena gelembung plastic ini sangat tipis, sehingga sangat mudah untuk robek dan meledak,”katanya.

Meski demikian, Heru mengaku sangat menikmati proses pembuatan karya-karyanya kali ini yang berjumlah lebih dari 40 foto itu. Terutama saat ia bertemu langsung dan berbagi cerita dengan para pemilik ataupun penjual tanaman mati itu. “Masing-masing tanaman yang ditampilkan memiliki ceritanya sendiri. Bagaimana para penjual tanaman tertawa saat saya mencari tanaman mati untuk difoto, namun tetap bersedia membantu. Hingga ekspresi keterkejutan dan kepuasaan saat melihat hasil akhir foto,”ujarnya.

Kedepan, Heru berharap ia benar-benar bisa mendirikan ‘museum’-nya sendiri. Dengan begitu cita-citanya untuk melakukan aksi nyata untuk menyelamatkan lingkungan terutama tanaman, bisa tercapai. “Saya berharap akan segera menemukan tempat yang bisa menampung hasrat ini. Tujuannya cukup sederhana, yakni sebagai media untuk mengingatkan kembali bahwa lingkaran kehidupan manusia dengan makhluk hidup lainnya di bumi harus terjalin dengan harmonis,”tutupnya. Diedit dan diterbitkan di Sarasvati.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar